Cerita Sex Dewasa - Hari ini hari Kamis, pelajaran berlangsung normal setelah kegiatan belajar mengajar ditiadakan tiga hari lamanya karena ada penyelenggaraan bazar di sekolahku. Pagi ini semua berlangsung seperti biasa, hanya aku dan Joan saling tersenyum penuh arti kalau tanpa sengaja kami beradu pandang ataupun bersenggolan tangan. Hal ini sering terjadi karena kami memang duduk bersebelahan. Bahkan kadang diam diam aku dan Joan mencuri curi saling menggenggam tangan di bawah meja. Ya, kejadian di depan rumah Joan pada akhir liburan kemarin memang mengubah total hubunganku dengan Joan.
Istirahat pertama tadi kulewatkan bersama Joan di kantin. Syela juga ikut nimbrung, dan kami bertiga sudah saling tahu semuanya, hingga tak ada rasa canggung sedikitpun di antara kami bertiga. Kini aku dan Joan sedang ada di dalam kelas, dan setengah jam lagi adalah waktunya istirahat ke dua. kebetulan aku merasa ingin ke toilet. “Joan , aku ke toilet dulu”, bisikku. “Aku ikut sayang”, kata Joan , membuatku tersenyum geli. “Gila kamu yah? Ya.. terserah kamu sih”, kataku. Lalu aku berdiri dan melangkah ke depan diikuti oleh Joan.
Hampir bersamaan kami berkata, “Pak, kami ijin ke belakang dulu”. Setelah mendapat ijin dari pak Gatot, aku dan Joan segera keluar dari kelas, menuju ke toilet, toilet putri tentunya. Tepat sebelum masuk ke toilet, aku menghentikan langkah. “Jo, kamu dengar nggak? Itu…”, aku berbisik agak ragu, sambil menunjuk ke gudang di sebelah toilet ini. Joan memandangku heran, lalu ia melangkah ke arah pintu gudang itu. “Joo nn”, aku berbisik kaget sambil menarik Joan , karena pintu itu memang agak terbuka, kuatirnya Joan akan terlihat oleh orang yang ada di dalamnya.
“Apa sih El?”, tanya Joan heran. “Joo , hati hati dong… kamu kan bisa kelihatan oleh mereka yang di dalam? Sebaiknya kita dengarkan diam diam deh”, bisikku lagi. Kemudian kami berdua menajamkan pendengaran, dan tak lama kemudian aku mendengar suara lenguhan perempuan. Lenguhan perempuan yang mungkin sekali sedang keenakan karena disetubuhi oleh laki laki. Aku dan Joan saling pandang, kulihat muka Joan memerah. Sedangkan keadaanku sendiri kelihatannya tak jauh beda, karena mukaku rasanya panas, jantungku juga berdegup kencang.
“El, siapa ya yang lagi asyik nih siang siang gini?”, tanya Joan dengan bingung. Aku mengangkat bahu, dan Joan dengan hati hati mengintip melalui pintu. Aku juga cukup penasaran dan ikut mengintip. Beberapa saat kemudian aku cukup shock. Aku melihat Vero yang telanjang bulat, sedang bergumul dengan dua siswa laki laki yang tak aku kenal, yang masih memakai seragam sekolah, tapi sudah tak memakai celana panjang abu abunya. Apakah dua siswa itu teman sekelasnya?
Dengan cepat aku menahan nafas. Aku mulai mencoba memperhatikan Vero . Ia sedang meliuk liukkan tubuhnya di atas tubuh temannya yang rebahan di atas meja yang sudah ditata itu, mungkin sekali Vero sedang mengendarai penis temannya itu. Benar benar pemandangan yang kontras, Vero yang begitu putih menggeliat di atas tubuh temannya yang jadi terlihat begitu hitam. Aku makin tertegun melihat Vero juga terlihat asyik mengoral penis dari seorang lagi yang berdiri di sampingnya. Pemandangan ini membuat gairah sex ku naik, melihat Vero dengan pipinya yang begitu putih, menggembung karena mulutnya menampung penis temannya yang pasti amat hitam itu.
Lenguhan tertahan dari Vero , membuat aku makin merasa lemas, dan aku memutuskan berhenti mengintip dan menarik tangan Joan . Selain itu aku juga takut ketahuan kalau berlama lama mengintip. Joan mengikutiku masuk ke WC. Aku mencoba mengatur nafasku yang memburu. Kemudian aku masuk ke dalam salah satu dari tiga kamar di WC ini. Tapi ketika aku akan menutup pintu, aku terkejut melihat Joan sudah menerobos masuk, dan mengunci pintu kamar WC ini. Dan Joan memandangku dengan tatapan yang membuat aku bergidik.
“Jo… kamu mmph…”, kata kataku tertahan karena Joan sudah melumat bibirku dengan sangat bernafsu. Tak butuh waktu lama, aku terlarut dan memejamkan mataku. Aku memeluk Joan , membalas lumatan bibirnya dengan sepenuh hati. Entah sejak kapan, aku sudah tinggal mengenakan bra, seragam sekolahku sudah dibuang Joan ke pojok kamar WC ini. Aku balas membuka kancing bajunya, dan beberapa saat kemudian kami berdua sudah telanjang dada dan saling meremasi payudara kami berdua.
“Meliza …”, desah Joan . Aku tersipu malu ketika Joan menatapku dengan sayu. “Meliza … aku juga ingin kamu…”, guman Joan . Kemudian dengan bernafsu Joan melucuti sabuk yang mengikat rok seragamku di pinggangku, dan dengan cekatan ia sudah melorotkan rok seragamku. Untung lantai WC ini kering, jadi aku tak perlu mengkuatirkan rok seragamku akan basah. Tapi aku sudah harus mendesah hebat, karena celana dalamku sudah dilorotkan oleh Joan , dan tanpa berkata apa apa Joan langsung melumat bibir vaginaku.
“Ohh… Jeeeen… ssshhh…”, aku merintih dan mendesah, tanganku sampai harus kutekankan pada dinding karena aku melemas tanpa daya. Joan dengan kejam terus mengoralku. Kini lidahnya sudah melesak memenuhi liang vaginaku, dan lidah itu bergerak seakan mengorek dinding liang vaginaku. Tentu saja aku makin menggelinjang, tapi Joan memeluk kedua pahaku dengan kuat, jadi aku tak bisa kemana mana, hanya bisa pasrah sampai Joan puas mencumbui liang vaginaku.
Jooo…”, aku mengeluh ketika kurasakan cairan cintaku membanjir. Aku orgasme hebat dan tubuhku mengejang tak karuan. Joan terus menyeruput semua cairan cintaku sampai habis, baru kemudian ia melepaskan dekapannya pada kedua pahaku. Aku langsung ambruk ke depan dan tertahan oleh Joan . “Meliza …”, Joan mendesah, dan ia membelai rambutku dengan mesra. Nafasku masih tersengal sengal dengan kepalaku yang kurebahkan di pundak Joan .
“Kamu gila Jo…”, gerutuku ketika aku sudah mulai bisa mengatur nafasku. Joan tersenyum manis sekali, membuatku ikut tersenyum pada temanku yang cantik ini. Dengan lembut Joan menyeka vaginaku dengan tissue yang ia ambil dari baju seragamnya. Aku menggigit bibir, ketika usapan lembut dari tissue yang dilakukan Joan pada bibir vaginaku, membuatku kembali terangsang. Tubuhku rasanya bergetar
“Udah dong Joo …”, keluhku ketika Joan dengan nakal melesakkan tissue itu sedikit ke dalam liang vaginaku. “Iya deh El”, kata Joan sambil tersenyum menggoda. Aku duduk di WC duduk ini, dan menuntaskan keinginanku buang air kecil. Setelah itu aku mengambil tissue yang kubasahi, dan menyeka liang vaginaku. Joan dengan nakal menaikkan celana dalamku dan membelai pahaku. Aku cuma bisa menggeleng gelengkan kepala, dan aku mencari baju seragam sekolahku dan memakainya. Lalu kuangkat rok seragam sekolahku, dan kupasang ikat pinggangku.
“Joo .. kita kembali ke kelas yuk”, aku mengajak Joan , yang mengangguk saja. Kami keluar dari WC ini dan kembali ke kelas. “Lama sekali kalian”, tegur pak Gatot. “Maaf pak, tadi saya sakit perut”, aku mencoba mencari alasan. “Saya juga pak”, Joan ikut memberikan alasan. “Ya sudah, sana duduk”, kata pak Gatot. Kami segera duduk, dan diam diam aku tersenyum geli. Ketika aku melihat Joan , ternyata ia juga sedang menahan senyum.
Akhirnya bel istirahat kedua berbunyi. Aku dan Joan sudah akan keluar menuju ke kantin, ketika tiba tiba aku melihat pak Bob masuk. “Meliza , selesai istirahat, temui saya di ruangan saya. Ada yang perlu saya tanyakan berkaitan dengan bazar kemarin”, kata pak Bob . “Iya pak”, jawabku dengan malas, tapi aku berusaha tetap terdengar sopan. Sebal sekali aku melihat senyuman liciknya, dan aku segera menuju ke kantin, dan memang aku jadi kehilangan mood untuk bercanda dengan Joan ataupun Syela , tapi aku berusaha untuk tetap menanggapi obrolan maupun canda tawa mereka.
Ketika bel tanda istirahat berakhir berbunyi, aku segera berpamitan, “Syela , Joan , aku tinggal dulu ya. Joo , titip pesan sama pak Warno, aku mesti menemui pak Bob nih”. Mereka mengangguk dan aku segera naik ke atas, bersiap menerima nasib buruk. Aku memasuki ruangan pak Bob dengan perasaan kalut. “Silakan duduk Meliza ”, kata pak Bob sok ramah. Aku hanya mengangguk, malas menjawab wali kelasku yang bejat ini. Ia beranjak ke arah pintu ruangan ini, melihat keluar sebentar, lalu masuk dan mengunci pintu itu. Aku tahu aku sudah kembali berada dalam kekuasaannya.
Aku hanya diam ketika pak Bob yang sudah duduk di hadapanku memandangiku. Risih sekali rasanya dipandangi seperti ini, seakan aku sedang ditelanjangi dan ditaksir berapa nilai tubuhku ini. Benar benar merendahkan sekali. Aku hanya bisa berharap, nasib sialku hari ini cepat berlalu. Pak Bob yang dari tadi memandangiku tiba tiba berkata, “Meliza .. kamu cantik sekali”.
Aku tercekat, dan menunduk. Aku merinding mendengar pujian yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang wali kelas terhadap muridnya. “Pak, apa tidak ada perlu penting? Kalau tidak ada, biarkan saya kembali ke kelas, saya kan harus mengikuti pelajaran”, kataku pelan. Pak Bob terkekeh dan menjawab, “Tentu saja saya ada perlu sama kamu Meliza ”. Berkata begitu, ia berdiri dan mendekatiku. Aku tahu, aku akan segera mengalami pelecehan oleh wali kelasku ini.
Aku diam saja ketika pak Bob mulai meremasi payudaraku. Ia melanjutkan mencumbuiku, menyibakkan rambutku yang hari ini aku ikat, dan mencium belakang leherku. Bagaimanapun jijiknya, rasa terangsang mulai merambati tubuhku. Aku menggigit bibir mencoba bertahan untuk tidak mendesah. Tapi cumbuan yang kuterima makin bertubi tubi. Kurasakan jilatan pada bagian belakang telingaku kanan dan kiri, sementara tangan pak Bob makin nakal, membuka kancing baju seragam sekolahku dan menyusup ke dalam meremasi payudaraku yang masih terbungkus bra ini.
Akhirnya aku tak tahan lagi dan mendesah perlahan ketika jari tangan pak Bob berhasil menemukan puting payudaraku. Tekanan yang dilakukan pak Bob pada puting payudaraku ditambah kecupannya pada leherku, membuatku menggelinjang. Aku mencoba mengalihkan tangan pak Bob , tapi aku segera menghentikan niatku karena ancaman pak Bob . “Meliza , jangan coba coba melawan, atau bapak panggil pak Girno dan yang lain untuk menemani bapak”, bisik pak Bob di telingaku. Aku langsung lemas dan pasrah, kubiarkan guru bejat ini menikmati diriku.
Tak lama kemudian baju seragam sekolahku sudah tergeletak di lantai, demikian juga bra dan ikat rambutku. “Meliza , kamu lebih cantik kalau rambutmu dibiarkan tergerai seperti ini”, kata pak Bob dengan bernafsu. Ia mengangkatku berdiri, lalu membuka sabukku, melucuti rok dan celana dalamku. Kini aku sudah polos, tinggal mengenakan sepatu sekolah ini. Dengan nafas memburu pak Bob mendekap tubuhku dan membawaku ke sofa. Setelah aku terbaring di sana, pak Bob segera melebarkan pahaku, dan mulai mencoba memasukkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Tapi yang terjadi kemudian sungguh membuat aku hampir tak kuat menahan tawa.
Pak Bob tak mampu melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Aku sempat merasakan terjangan penis yang terlalu lunak, rupanya pak Bob belum ereksi sempurna. Padahal terlihat jelas ia sudah sangat bernafsu melumat tubuhku. Aku mencoba memikirkan hal lain supaya tak sampai tertawa di depan wali kelasku ini. Kurang lebih dua kali pak Bob mencoba lagi, dan akhirnya… sleb…
Dengan wajah puas pak Bob kini mulai memaju mundurkan pinggulnya. Aku tak begitu merasakan sedang disetubuhi, karena penis ini lunak, dan pendek. Tapi aku mencoba berpura pura terpengaruh, dan aku sengaja menggigit bibirku. “Oh… enak ya Meliza ”, ejek pak Bob dengan percaya diri. Aku terpaksa pura pura mengangguk, sambil tetap menggigit bibir. Belum lagi aku merasakan apa apa, tiba tiba penis pak Bob sudah berkedut, dan menyemburkan spermanya dalam liang vaginaku.
Setelah pak Bob puas dan menarik penisnya dari liang vaginaku, aku memejamkan mataku, sekalian mengistirahatkan tubuhku. Aku tak bergerak sama sekali dari posisi tubuhku terakhir saat pak Bob menarik lepas penisnya tadi. Kalau ada laki laki yang melihat cewek yang putih mulus seperti aku, sedang mengkangkang dalam keadaan telanjang seperti ini, pasti aku akan diperkosanya habis habisan. Aku tenang saja, toh tak ada orang di sini, setidaknya itu menurutku. Juga sekalian untuk membiarkan sperma pak Bob keluar mengalir dari liang vaginaku.
Tapi tiba tiba kurasakan vaginaku tertempel sesuatu, yang tak mungkin jari tangan pak Bob , karena kurasakan begitu hangat, dan besar juga. Itu kepala penis! Aku langsung membuka mataku lebar lebar, dan jantungku serasa berhenti. Ya ampun, dia ini kan laki laki yang tadi dioral Vero di gudang? Dan aku makin terkejut ketika di sebelahku sudah berdiri seorang laki laki seumurku, dengan penisnya yang sudah berdiri tegak sekali mengacung ke arah mulutku. Kemungkinan besar dia juga laki laki yang tadi rebahan di gudang dan ditindih oleh Vero
Belum sempat aku berbuat sesuatu, liang vaginaku sudah terbelah oleh penis laki laki di depanku. “Aaammpphhh…”, aku merintih, tapi segera disumbat oleh penis laki laki yang memang sudah jelas menginginkan servis oralku. Kedua pergelangan tanganku dicengkeram erat, aku sempat berhasil melihat pelakunya, yang ternyata adalah pak Bob ! Benar benar biadab, ia memberikan aku pada dua siswa yang sama sekali tak aku kenal ini. Entah apa yang ada di pikiran wali kelasku yang bejat ini.
Kini aku merasakan liang vaginaku begitu penuh, dan aku menggeliat perlahan ketika kurasakan liang vaginaku diaduk aduk oleh penis pemerkosaku ini. Aku tak berani terlalu banyak bergerak, karena liang vaginaku terasa begitu penuh, apalagi penis itu terasa panjang sekali dan menancap begitu dalam. Aku merasa sedikit menderita dengan keluar masuknya penis itu di liang vaginaku ini. Sedangkan mulutku harus terbuka lebar, dan akhirnya aku pasrah, menjepitkan bibirku pada penis yang sedang maju mundur menikmati sempitnya rongga mulutku.
Penis yang sedang kuoral ini panjang juga, berulang kali kepala penis ini seakan ingin melesak masuk kedalam tenggorokanku, bahkan sebelum bibirku mengulum sampai ke pangkal penis ini. Entah kenapa, aku menginginkan penis ini mengaduk tenggorokanku, dan aku sedikit mendongak, memberikan jalan pada penis ini untuk menembus rongga tenggorokanku. Keringat mulai membasahi tubuhku, karena gairahku sudah mulai naik. Aku berulang kali mendesah dan merintih tertahan.
Rasa sakit yang tadi sempat sedikit melanda liang vaginaku, sudah berubah menjadi rasa yang teramat nikmat. Aku mulai menggeliat keenakan. Dengan liang vaginaku yang teraduk aduk sedemikian rupa oleh sebuah penis yang besar dan panjang, sementara tenggorokanku juga teraduk aduk tak karuan, dan ketidak berdayaan dari aku untuk menggerakkan tanganku yang dicengkeram pak Bob , aku tahu sebentar lagi aku harus pasrah dilanda orgasme yang dahsyat.
Kini vaginaku sudah berdenyut hebat. Aku pun makin menggeliat, mengerang dan melenguh tertahan, penuh kenikmatan. Dan penis itu masih mengaduk liang vaginaku dengan liar tanpa ampun. Akhirnya aku melenguh, “Nggmm…”. Lenguhanku tersumbat ketika tenggorokanku terbuntu oleh kepala penis yang melesak seenaknya, membuat aku tak tahan lagi dan mengejang tak karuan, kedua betisku melejang sejadi jadinya. Aku merasa cairan cintaku membanjir tak karuan, entah sudah sebasah liang vaginaku.
Pinggangku sudah tertekuk ke atas karena aku tak kuasa menerima nikmatnya orgasme ini, dan dengan pose seperti ini tubuhku pasti terlihat sexy sekali oleh pemerkosaku yang beruntung mendapatkan liang vaginaku ini. Melihat aku orgasme, bukannya berhenti, pemerkosaku ini makin bersemangat mengaduk liang vaginaku. Bahkan ia memajukan tubuhnya hingga tusukan penisnya makin terasa saja. Ternyata ia menginginkan kedua payudaraku. Kedua tangannya meraih sepasang payudaraku ini, dan ia meremas payudaraku dengan sepuas puasnya. Tentu saja aku yang masih dilanda orgasme makin keenakan.
Aku akhirnya mengalami multi orgasme, tubuhku terus mengejang hebat sampai aku kelelahan, orgasme yang susul menyusul terus melandaku. Aku sudah tak bisa merintih lagi, hanya membiarkan tubuhku bergerak diluar kontrolku. Sudah lebih dari satu menit tubuhku tersentak sentak diterjang badai orgasme, dan belum ada tanda tanda pemerkosa liang vaginaku itu akan berejakulasi. Aku mulai menderita dalam kenikmatan yang amat sangat ini, keringatku makin bercucuran membasahi sekujur tubuhku. Aku menatap pemerkosa vaginaku dengan sayu, berharap ia mengerti dan mau memberiku kesempatan istirahat, karea aku tak bisa berkata apapun dengan penis yang sedang memperkosa mulutku ini.
“Break dulu, nanti dia bisa pingsan”, kata pak Bob tiba tiba, dan mereka berdua berhenti memompa tubuhku. Semua penis yang memompa tubuhku berhenti bergerak, demikian juga payudaraku terbebas dari remasan yang sangat membuatku menderita keenakan ini. Tapi penis yang besar itu masih berada dalam liang vaginaku, dan kurasakan denyutan denyutan yang begitu merangsangku. Cuma setidaknya keadaan ini sudah lebih baik buatku, karena multi orgasme yang membuat vaginaku begitu ngilu ini mulai mereda, hingga rasa tersiksa karena kejangnya otot otot di vaginaku dan sekitarnya, termasuk betisku, otomatis juga berkurang.
Juga dengan berhentinya gerakan penis di dalam mulutku tepat saat kepala penis itu tidak sedang menerjang rongga tenggorokanku, memberiku kesempatan untuk mengambil nafas. Pak Bob juga sudah melepaskan cengkeraman pada kedua pergelangan tanganku, hingga aku bisa mengistirahatkan tanganku yang pegal karena tertarik kencang ke belakang selama beberapa menit. Selagi aku mencoba memulihkan tenaga yang rasanya terkuras habis ini, wali kelas sialan ini memperkenalkan pemerkosaku satu per satu, hal yang harusnya sama sekali tidak penting untuk kudengarkan, tapi toh aku tak bisa berbuat apa apa selain terpaksa mendengarkan pak Bob .
“Meliza , kenalkan, ini Dedi, kelas 2G, sebelah kelas kamu”, kata pak Bob sambil menepuk pundak pemerkosa mulutku. Aku melihat Dedi, ia benar benar tidak tampan, bahkan cenderung mengerikan dengan bekas luka di hidungnya. Wajahnya sama sekali tidak ramah. Ya ampun, orang seperti ini ada di kelas sebelahku? Aku memang penghuni kelas 2H. Dan pak Bob bergerak ke arah pemerkosa vaginaku. “Kalau ini Pandu, kelas 2G juga”, kata pak Bob . Aku hanya bisa mengarahkan pandanganku ke arah Pandu karena mulutku tertahan oleh penis Dedi yang kokoh ini.
Pandu juga sama sekali tidak tampan, malah sedikit tongos. Orang orang seperti ini harusnya membuatku jijik atau sedikitnya aku malas berdekatan dengan mereka. Tapi kini mereka sudah mendapatkan tubuhku berkat bantuan wali kelasku yang bejat ini. Ingin aku berteriak pada pak Bob , aku ini kan anak murid kelasnya, mengapa dia tega memberikan aku pada anak murid kelas sebelah seperti ini?
Kini pak Bob bertanya pada Pandu, “Gimana Pandu? Meliza ini lebih enak dari Vero kan?”. Pandu cengengesan menjijikkan dan menjawab, “Pak Bob memang hebat, bisa memberikan kami amoy secantik Meliza ini. Dan memang benar, Meliza ini memeknya lebih rapat jauh dari Vero !”. Dedi menyambung, “Ndu, nanti loe cepetan ngecrot, gua juga mau coba memek amoy cantik ini!”. Aku memejamkan mata, rasanya terhina sekali mendengar pujian yang sebenarnya amat melecehkanku ini.
Dan beberapa saat kemudian, ronde kedua pemerkosaan terhadap diriku dimulai. Pandu mulai menggenjot liang vaginaku lagi. Dedi tak mau kalah, ia menerjangkan penisnya melesak ke dalam rongga tenggorokanku. Kembali aku harus melayani kedua pemerkosaku ini, siswa sekolah ini, yang seangkatan denganku. Kini liang vaginaku sudah begitu basah, dan hunjaman penis itu sudah tak begitu menyiksaku lagi sejak awal. Sedangkan tenggorokanku juga basah oleh air liurku sendiri dan cairan pelumas penis Dedi
Aku merasakan Pandu menjejalkan penisnya dalam dalam di tiap hunjaman yang dilakukannya, kelihatannya ia sedang mencari kenikmatannya sendiri untuk segera berejakulasi. Tapi aku cukup menderita juga atas apa yang dilakukannya, karena sesekali kurasakan dinding rahimku seperti tersodok kepala penis Pandu. Aku mengerang tertahan menahan sakit yang bercampur nikmat ini. Entah apa bedanya dengan ronde pertama tadi, kali ini baru beberapa menit, Pandu mulai mengerang, dan penisnya kurasakan berkedut hebat di dalam liang vaginaku.
“Oh.. Meliza aa…”, erang Pandu, tubuhnya bergetar hebat, dan kurasakan liang vaginaku disirami spermanya yang amat hangat, dan banyak. Aku hanya diam, memang aku terangsang, tapi aku belum sampai orgasme. Mendadak dengan cepat Dedi menarik lepas penisnya yang sejak tadi bersarang di dalam mulutku, dan begitu Pandu menarik lepas penisnya dari liang vaginaku, Dedi segera mengambil posisi untuk mendapatkan servis liang vaginaku. Aku benar benar merasa seperti pelacur di dalam ruangan ini.
“Ngghhh…”, aku melenguh perlahan ketika liang vaginaku yang sempat merasa sedikit lega setelah Pandu menarik lepas penisnya tadi, kini kembali terisi penis Dedi yang sempat kuperhatikan tadi, kira kira berukuran 16 cm, dengan diameter sekitar 4 cm. Dan selagi Dedi mulai memompa liang vaginaku, Pandu berjalan ke arah kepalaku, dan kuperhatikan penisnya yang masih belum begitu layu. Ternyata sesuai dugaanku, penis itu panjang dan besar. Kira kira panjangnya hampir 20 cm, dan diameternya mungkin nyaris 5 cm. Pantas saja tadi aku sampai tak kuasa menahan nikmat yang melanda selangkanganku.
Kini penis itu sudah ada di depan mulutku. Terbiasa menghadapi gangbang ataupun perkosaan yang menimpa diriku, dengan tanpa sadar aku membuka mulutku, membiarkan penis yang masih belepotan sperma Pandu dan cairan cintaku sendiri itu melesak masuk, dan aku seakan tahu tugasku untuk membersihkan penis itu. Selagi Dedi terus memompa liang vaginaku dengan bersemangat, aku mengulum penis Pandu, menjilat seluruh permukaan kulit penis yang sudah mulai mengecil perlahan ini, dan menyeruput semua sisa sperma yang masih belepotan di sana. Kutelan campuran semua cairan itu, dan aku sengaja menjepit penis itu dengan bibirku, kujepit dengan agak kuat. Sampai ke kepala penisnya, aku mencucup dengan kuat, membuat Pandu melolong keenakan. Tapi aku tak mau melepaskannya.
“Aaargghh… sudah Meliza aa…”, erang Pandu. Ia menggigil keenakan, dan setelah ia mengeluarkan suara seperti sedang disembelih, baru aku melepaskan cucupanku pada kepala penisnya. Pandu langsung roboh ke lantai, ia merintih dan mengerang keenakan. Kini aku tinggal berkonsentrasi pada Dedi. Tapi rupanya pak Bob ingin servis oralku juga, ia sudah menyodorkan penisnya di depan mulutku. Maka aku terpaksa membuka mulutku, menerima penis pak Bob yang mini ini, yang memang masih belepotan sperma.
Aku melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan pada penis Pandu tadi, dan pak Bob juga melolong keenakan sampai akhirnya ketika aku melepaskan kulumanku, pak Bob juga roboh tak berdaya di sebelah Pandu. Tapi kini aku sudah terangsang hebat, sodokan demi sodokan yang sejak tadi kuterima membuat vaginaku terasa begitu ngilu. Memang penis Dedi tak sebesar penis Pandu, tapi cukup untuk memaksaku menderita dalam kenikmatan ini.Cerpen Sex
Aku mulai menggeliat dilanda kenikmatan ini, dan perlahan aku mendesah. “Sssh… oooh”, aku makin keras mendesah. Vaginaku serasa akan meledak dipompa habis habisan oleh Dedi, dan akhirnya aku orgasme di ronde kedua ini. “Nggghhhh.. nggghhhh…”, kini aku melenguh sejadi jadinya karena mulutku bebas tak tersumbat oleh penis seperti tadi. Pinggangku kembali tertekuk ke atas, tubuhku tersentak sentak tak karuan dan mengejang hebat, kedua betisku melejang tak karuan. Untungnya Dedi sendiri juga sedang mengerang, ia akan segera orgasme.
“Ooooh… Meliza aa… memekmu… enaaaak…”, erang Dedi. Tubuhnya tersentak beberapa kali saat penisnya menyemprotkan sperma ke dalam liang vaginaku. Ia menarik lepas penisnya dari jepitan liang vaginaku, dan dengan gontai ia berjalan, hendak mendapatkan servis oral dariku. Orgasmeku sudah mereda, dan aku membuka mulutku begitu penis itu sudah ada di depan mulutku. kuberikan perlakuan yang sama kepada penis Dedi seperti tadi aku memperlakukan penis Pandu dan pak Bob .
Dedi pun tak kuasa bertahan, ia mengerang dan melolong tak kuasa menahan nikmat. Begitu aku melepaskan kulumanku, Dedi juga roboh di sebelah pak Bob . Aku sendiri terbaring lemas dan keadaanku tak lebih baik dari mereka. Entah dosa apa aku harus melayani tiga lelaki bejat ini di sekolah. Entah apa lagi yang kelak terjadi, mungkin Pandu dan Dedi akan mencari kesempatan untuk memperkosaku lagi.
Aku mencoba bangkit dari sofa ini, dan mengambil tissue di atas meja. Aku menyeka bibir liang vaginaku dan sekitarnya yang belepotan sperma dan cairan cintaku. Aku kembali mengambil tissue agak banyak, dan menyeka keringat yang membasahi sekujur tubuhku. Tanpa berkata apa apa aku mengambil celana dalamku dan mengenakan di tubuhku menutup liang vaginaku. Juga aku mengenakan bra, baju dan rok seragam sekolahku. Dengan pandangan benci aku menatap pak Bob . “Sekarang biarkan saya kembali ke kelas pak!”, kataku ketus.
“Tunggu Meliza ”, kata pak Bob dengan buru buru. Ia berdiri dan memakai celana yang tadi ia lepas untuk memperkosaku. Demikian juga dengan Pandu dan Dedi juga sudah mengenakan celana mereka semua. Lalu Pandu dan Dedi duduk di kedua ujung sofa, sedangkan pak Bob membimbing aku untuk duduk di tengah mereka. Kedua lenganku didekap oleh satu lengan mereka, sedangkan tangan mereka yang menganggur mulai meremasi payudaraku.
“Meliza , Pandu dan Dedi ini adalah anak teman bapak. Tadi bapak melihat kamu mengintip ke gudang saat Pandu dan Dedi sedang bermain dengan Vero . Karena bapak takut kamu menyebarkan ke teman lain, bapak terpaksa membungkam mulut kamu dengan mengatur kejadian ini”, kata pak Bob tanpa merasa bersalah. Aku makin muak pada wali kelasku ini. Perlu apa juga aku menyebarkan kepada teman teman tentang aib yan dilakukan Vero ? Toh aku sendiri juga sudah bukan gadis yang suci.
“Oh iya Meliza . Tadi kamu mengintip dengan Joan kan”, tanya pak Bob sambil tersenyum menjijikkan. Kata katanya membuat aku serasa disambar petir. “Apa maksud bapak?”, dengan panik aku bertanya setengah membentak. Kedua siswa bejat yang masih asyik meremasi payudaraku ini tertawa mengerikan. “Sederhana Meliza , Joan juga harus dibungkam. Kalau kamu tak ingin bapak menyeret kamu ke rumah kosong di sebelah mess untuk melayani seluruh penghuni mess sekolah ini, kamu harus bisa bawa Joan ke UKS, sabtu malam besok ini. Tempat kamu pertama kali bermain cinta di sekolah ini”, kata pak Bob .
Aku langsung lemas, diiringi tawa mereka. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Setelah beberapa remasan keras pada kedua payudaraku hingga aku menggeliat, dua siswa bejat itu melepaskanku. Aku segera berdiri, dan menuju ke pintu keluar setelah membenahi baju seragamku yang sedikit awut awutan. Tepat ketika aku membuka kunci pintu ruangan ini, pak Bob kembali mengingatkan, “Meliza , ingat, besok Sabtu jam delapan malam, bapak tunggu kamu dan Joan di ruang UKS”.
Aku tak menjawab, dan keluar dari ruangan laknat ini. Dalam perjalanan menuju ke kelas, aku berpikir keras, apa yang harus aku lakukan. Aku belum bisa mengambil keputusan sampai akhirnya aku masuk ke kelas. Aku mengetuk pintu kelas dahulu. “Permisi pak Warno, maaf saya tadi dipanggil pak Bob ”, aku memberikan keterangan. Pak Warno tersenyum dan menyilakan aku masuk, “Ya Meliza , saya sudah diberitahu Joan . Silakan duduk”. Aku berjalan ke tempat duduk sambil melamun. Ketika aku sudah duduk di sebelah Joan , aku dikagetkan oleh cubitan Joan . “Meliza .. kamu cantik deh kalau rambutmu dibiarin tergerai gini. Tadi kok nggak digerai gini sih?”, goda Joan . Aku hanya tersenyum malu. Tapi aku juga dalam kegundahan yang amat sangat, entah Joan tahu atau tidak.
Aku harus memutuskan, apakah aku menyerahkan Joan kepada orang orang bejat itu, atau aku yang menyerahkan diri untuk dibantai di rumah kosong oleh sekitar 60 orang. Entah apa kalaupun kemudian aku yang menyerahkan diriku, apakah Joan tetap dibiarkan lolos? Tapi jika aku menyerahkan Joan pada mereka, apakah nanti Joan akan membenciku? Keduanya adalah pilihan yang sangat sulit bagiku. Dan aku jadi melamun sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi.