Daun Muda, Pembantuku Itu... 2

Vimax Asli
Obat Pembesar Panjang Penis

Aku terbangun dengan pemandangan samar sebuah wajah mungil yang menatapku lekat lekat.

“Ehmm… mbak Yun, bikin kaget aja,” sapaku sambil menggeliat dan berjuang membuka mata.

Mbak Yun cuman tersenyum-senyum, duduk bersimpuh di depanku sambil masih menatapku lekat-lekat. Aku gulung majalah yang masih ada di tanganku lalu dengan bercanda kupukulkan ke jidatnya. 
Dia tertawa.

Memang, setelah libidoku kalah telak dengan rasioku, alih-alih menubruk tubuh seger yang dapat kupatikan akan menyambut entotanku dengan senang hati itu, tetapi aku malah menghidupkan TV dan membaca-baca majalah sambil gelesotan di karpet dan bersandar di sofa tempat mbak Yun tertidur. Rupanya udara panas siang itu juga mampu menyihirku, lalu aku juga jadi tertidur dan mbak Yun bangun duluan lalu ikutan menjeplok di depanku sambil melihatku seperti itu.

“Orang lagi tidur kok diliatin kaya gitu, emang tontonan? Dasar mbak rese, ah!” protesku lanjut.

“Halah, GR. Lagian sapa juga yang liatin kamu, dik? Hihihi…” jawabnya.

Aku menatapnya bersila dengan hotpants itu, semerta merta libidoku bangkit kembali. Semerta-merta rasioku menenangkanku lagi. Kejadian brengsek macam apa pula ini?

Kulirik jam tanganku, jam 15.15. Welah, ternyata aku tertidur cukup lama juga.

“Maaf, tadi pas aku pulang, mbak masih bobok. 
Mau tak bangunin tapi kelihatannya pules banget, makanya tak tungguin aja. Eh, malah aku ikut ketiduran sampe sore gini… ya udah, ayo siap-siap, mbak. Kita ke toko cari keperluan mbak… ke Matahari aja kali ya, satu tempat komplet semua.” kataku lagi sambil berusaha bangun.

Mbak Yuni tidak menjawab, hanya ikutan bangun sambil masih menatap wajahku. Tatapan yang kukenal secara pasti. Tatapan yang sama dengan wanita-wanita yang berhasil kupecundangi dengan rayuanku, tatapan seorang wanita yang tertaklukkan. Tatapan seorang wanita yang… jatuh cinta. Dan itu menakutkanku!! Karena dia sama sekali bukan targetku dan tidak sedetik pun aku dapat membayangkan mbak Yun falling in love denganku. 
It’s gonna be damned complicated kalo sampai terjadi. Tapi rasioku dengan jelas memaparkan alasan yang logis, apabila itu semua terjadi. Aku satu-satunya orang yang mungkin dia anggap “baik” dalam tahun-tahun belakangan ini, walau diakui atau tidak, semalem aku telah “memperkosanya”, hanya saja, perkosaan itu entah dianggap sebagai apa olehnya.

“Oi! Haloo…! Ada orang di sana?” godaku sambil melambai-lambaikan tanganku di wajahnya.

“Eh?”

“Aku nanya, yang mau mandi mbak Yun dulu apa aku aku dulu? Mendingan kita berangkat sorean, jadi waktuya bisa lega…” kataku lagi mengulang pertanyaanku.

“Ee, dik Deni dulu juga gak papa deh…” jawabnya.

“Ato mandi barengan?” candaku.

Dia hanya terkikik lalu mecubit pinggangku (lagi). “Jangan nakal ah, aku kan kakakmu.”

“Hehehe… eh, mbak, anu… eee… semalem… aku minta maaf ya, aku bertindak sangat-sangat kurang ajar kapada mbak… eee… mohon mbak sekali lagi memaafkan aku dan menyimpan kejadian itu di antara kita aja… kumohon…” kataku terus terang mengungkapkan apa yang masih mengganjal di pikiranku.

Mbak yun kembali tersenyum, sebuah reaksi yang kurang bisa kuterka.

“Ga papa, dik. Dik Deni gak perlu minta maaf untuk itu…” jawabnya sambil tertunduk.

“Sakit banget ya, mbak? Aku lihat mbak menagis pas tak gituin semalem, pastinya aku melukai mbak banget ya? Aku mohon maaf banget ya, mbak…”

“Iya, ga papa. Sudah mbak bilang ga papa, toh mbak juga bukan perawan, mbak sudah punya dua anak malah… jadi mbak paham kebutuhan laki-laki, hehehe… sebenarnya mbak gak keberatan bantu dik Deni melampiaskan itu… maksudnya… kalau dik Deni masih mau… mbak… anu… ehm, juga gak keberatan… maksudnya… eh… anu… cuman… emang linu banget… abis… kegedean sih…” jawabnya terbata-bata sambil tetap nunduk malu-malu. Bikin tanbah gemes aja.

“Tapi masa segitu sakitnya sampai bikin mbak nangis?”

“Ooo… masalah nangis itu… anu… mbak semalem agak kaget dan kacau… maaf kalau tangisan mbak membuat dik Deni jadi merasa bersalah, maksudnya, dik Deni gak usah merasa bersalah melakukan itu ke mbak semalem… karena… mbak juga… ee… anu… menikmatinya kok…”

“Bener mbak Yun menikmatinya?”

Mbak yun tidak menjawab, hanya kulihat mukanya memerah. Aku sih yakin bener dia menikmatinya, lenguhannya, orgasmenya yang berkali kali… dan toh sebelum kusodokin kontolku di lobang memeknyapun, dia sudah basah banget… cuman, pengin aja denger dari mulut dia… hehehe… menjajaki sejauh mana wanita alim ini mampu ngomong jorok…

“Iya, mbak menikmati, ee… malah mbak sampai… anu… itu berkali-kali…”

Aku tersenyum geli, anyway, cukup segitu dulu kali ini, aku juga gak mau mendorongnya terlalu keras. Sambil menggeloyor aku menggandeng tangannya. Mbak Yuni ngekor aja waktu kubimbing ke kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, aku melepaskan semua baju yang menempel di tubuhku hingga aku telanjang bulat. Aku dekati dia perlahan-lahan. Mbak Yun semakin menunduk, bahkan dari jarak ini, dapat kurasakan detak jantungnya yang berdetak kencang macam marching band. Kusandarkan punggungnya ke tembok kamar mandiku, tepat di bawah shower, lalu aku mundur selangkah.

Dalam jarak ini, aku tahu dia dapat melihat setiap sudut dari lekuk tubuhku yang emang sangat kujaga dengan rajin ngegym ini.

“Kalo gitu, mbak bantu aku ya? Aku terangsang lagi tadi pas melihat mbak bobok… aku gak minta banyak kok mbak, cuman lihat tubuh mbak aja sambil… masturbasi,”

Mbak Yun diam. Aku mulai beratraksi, pelan-pelan aku mengocok kontolku sambil pandanganku menjelajah tubuhnya. 
Kubuat pandanganku setajam mungkin hingga dia pasti merasa tertelanjangi dengan tatapan mataku ini. Aku masih terus mengocok kontolku yang sekarang sudah hampir 100% tegang masih dengan ritme pelan. Mbak Yun mulai bereaksi. Dia mulai mengangkat tangannya ke arah kontolku. Aku menghentikan kocokan dan memberikan kesempatan untuk jari kecilnya yang mulai mendekati kontolku. Dia memegangnya, mengelusnya lembut lalu mulai meremasnya. Dan aku melenguh.

“Gede… banget…” gumannya sambil terus mempermainkan kontolku.

“Mbak suka kontolku?” tanyaku menguji, sengaja aku gunakan kata-kata yang hard core.

“Hehe… geli, mbayangin aja dah linu…”

“Emang apa yang mbak bayangin?” desakku.

“Hehe… eh, ya… mbayangin… melakukan hubungan suami istri kaya semalem…” jawabnya.

Hubungan suami istri? Weleh, kata-kata itu… semakin membuatku penasaran ingin membuat dia bicara kotor.

“Mungkin linu karena… lorong vagina mbak pendek, jadi langsung mentok ke dinding rahim… tapi dengan begitu malah… semua relung kewanitaan mbak terjamah kan dengan penisku?” pancingku lagi.

“Eh, iya… kira-kira begitu lah… mentok…”

“Mbak…”

“Iya,”

“Aku boleh cium bibir mbak?”

“Eh? Boleh…” lalu dia langsung bangkit dan menyorongkan bibirnya ke bibirku sambil matanya setengah terpejam. 
Aku menahan kepalanya dengan kedua tanganku, menghentikan kecupannya sebelum sampai ke bibirku.

“Eh, kenapa?” tanyanya, nafasnya sudah semakin berat, aku tahu dia luar biasa terangsang sekarang, hanya sisa-sisa kealimannya yang masih bisa membuatnya sedikit dapat jaim.

“Bukan bibir yang itu,” kataku sambil mengambil posisi jongkok. “Tapi bibir yang ini,” lanjutku sambil mengelus pelan memeknya dari luar hotpants istriku yang dia kenakan.

“Eh… maksudnya? Itu kan… anu…”

“Ini kan juga bibirnya mba Yun, bibir bawah, bibir vagina. Boleh ya, mbak? Aku ingin menciumnya…”

“Eh… kalo dik Deni memang pengin beneran… mbak… anu… eh, gimana ya dik, mbak belum pernah dicium… di situnya mbak…”

“Kalau mbak boleh, tolong bantu aku pelorotin celananya mbak…” sergahku.

Dengan ragu-ragu, mbak Yun memelorotkan celananya, pelan. Rambut itu kulihat tumbuh jarang-jarang di bagian bawah pusar. Seiring turunnya kolor hotpants yang dia tarik dengan tangannya semakin ke bawah, rambut itu kelihatan semakin melebat… tetapi tidak lebat juga. Lalu lobang itu mulai terlihat celahnya, dan tidak perlu waktu lama, vagina polos mbak Yun sudah terdisplay di depan mataku. Berwarna coklat tua, bibir yang sudah pernah mengeluarkan dua buah orok itu terlihat berkilat karena lendir yang mulai membasahi. 
Aku memuaskan mataku memandang sorga dunia itu. Tak berapa lama, ada cairan yang menetes. Ough… ternyata mbak Yun jenis cewek yang berlibido tinggi, dengan terangsang saja cairan vaginanya sudah menetes-netes tidak karuan.

“Dik…” desahnya memelas.

Aku tau apa yang mau dia katakan, sebelum dia berubah pikiran, bibirku sudah mendarat di atas lobang memeknya. Diapun melenguh tinggi dan secara reflek mencoba melengkungkan badannya ke belakang, menghindari sapuan bibirku di mulut memeknya.

“Uuuuuggghhhhttt…”

Tapi aku tidak kalah cepat, kutahan pantatnya. Diapun terjajar ke belakang sampai punggungnya membentur tembok kamar mandi, tepat di posisi di mana aku menyandarkannya tadi. Gerakan mundur sudah tidak bisa dilakukannya. Aku mengangkangkannya dan menyelempangkan paha kanannya ke pundakku. Dengan begitu akses mulutku ke memeknya jadi terpampang luas. Memek itu terbentang pasrah beberapa cm dari hidungku. Tak kusangka memek mbak Yun beraroma lain, seakan aku bisa mencium hormon kewanitaannya yang ikut mengalir bersama cairan memeknya.

Tanpa menunggu waktu lagi, aku mulai memproses memek yang menurut pengakuannya baru sekali “dicium” oleh bibir pria. Aku mengulum, menjilat, menyedot, menyenggol-nyenggol itilnya dan menyodok-nyodoknya dengan lidahku. Memek itu benar-benar kunikmati. Dari ujung pusar di perutnya sampai lobang anusnya tidak luput dari garapanku. Mbak Yun mendesah, tersengal sampai menjerit dan meliuk-liukkan tubuhnya menikmati setiap sensasi permainan lidahku. Berkali-kali cairan vaginanya membanjir, berkali-kali aku tahu dia orgasme. Tapi aku tak memberinya ruang untuk bernafas. Permainan silat lidahku terus menghajarnya sampai satu titik dia menjerit, terliuk ke belakang lalu ambruk ke samping. Dia mengalami orgasme yang ke sekian kalinya.

Mbak Yun rubuh, mungkin kakinya sudah terlalu lemas untuk menopang badan mungilnya. Aku merengkuhnya, meletakkannya di dalam pelukanku. Kita berdua duduk menjeplok di lantai. Badan lemasnya berlawanan 180’ dengan kontol tegakku. Masih di pelukanku, walau tersengal-sengal, mbak Yuni sudah mulai tenang. Aku dengan sabar menunggunya sambil membelai- belai rambutnya.

“Mbak Yun gak papa?” tanyaku.

“Heh... heh… heh… kamu gila, dik… heh… tulangku seperti dilolosi semuanya… lemes banget rasanya…” jawabnya dengan tersengal-sengal.

“Yang tadi… mbak Yun juga menikmatinya?” godaku sambil tersenyum.

“Heh… eh, mbak gak bisa… mengungkapkan dengan kata-kata… baru sekali ini mbak… heh… heh…”

“Tapi, mbak, aku masih belum… lihat nih, si jonny masih berdiri tegak…”

Mbak Yun, masih dengan gerakan lemas berusaha mengusap kontolku. “Waduh, dik… mbak bisa pingsan kalau kamu sodok sekarang… tadi aja, mbak entah berapa kali…”

“Hehehe… ya udah, kalau gitu istirahat aja dulu…”

“Dik, tadi itunya mbak… maksudnya… cairan mbak... kamu telen yah?”

Aku cuman tersenyum nakal.

“Makasih banget ya, dik…” lanjutnya.

Eh? Sumpah, pernyataan ini aku gak mudheng maksudnya apa. Aku hanya tersenyum, mencium sekilas bibirnya lalu mengangkatnya berdiri. Kusiram tubuhnya dengan air hangat dari shower. Kusabuni setiap mili tubuhnya, lalu aku pun mengguyur tubuhku. Kita kali ini “mandi” beneran. Sampai sehabis mandi pun aku handuki badannya, kuperlakukan dia bener-bener istimewa, mungkin dipikirannya dia jadi ratu semalam, hehehe… Dan dia beneran masih gemeteran sampai aku selesai mengeringkan badannya dengan handuk dan mendudukannya di tepi ranjang. Lucu aja, mengingat mbakku ini bukan perawan yang baru saja mengenal sex, dia sudah beranak dua.

Bicara tentang perawan, aku jadi teringat waktu memerawani Karin, anak seorang istri simpanan yang tinggal di rumahku yang kukontrakkan. Persis sama, Karin juga gemetar seperti itu selesai kugarap. Dan setelah beristirahat sebentar, dia malah yang mancing-mancing minta tambah. Waktu itu, keperawanan anak kelas dua SMP itu dijual Rp. 7,5jt oleh ibunya, walau akhirnya aku kasih Rp. 12,5 dan bonusnya… well, long term… Karin bahkan sampai menyatakan sayang padaku, iblis yang telah membeli keperawanannya, plus ibunya juga bisa kusodok kapanpun. Bahkan waktu kenaikan kelas ke kelas 3, mereka kuajak berlibur ke jogja, dan kita 3 some di kamar hotel. What a sin.

Kembali ke mbak Yuni, dia masih juga gemeteran setelah beberapa saat bersandar di dadaku. 
Dia sudah kering kuhanduki, bahkan sudah kupakaikan kimono istriku. Aku memangku dia di ranjang dalam posisi setengah duduk sambil memeluk tubuh gemetarnya. Tiba-tiba, entah setan darimana yang merasukinya, dia berbalik menghadapku. Mengangkangiku, menyibak kimononya dan mengarahkan kontol tegangku ke memeknya.

“Eeeeggghhhh… ayo dik, kalau gak dituntaskan, bisa-bisa mbak gemeteran terus…”

Aku memandang matanya sambil tersenyum, aku menduga-duga, apakah dia terkena efek titik balik dari orgasme berkelanjutan (multiple orgasm). Ini hal langka, aku hanya membacanya di majalah pria. Dan tidak sekalipun dalam hidupku bermimpi dapat melihatnya.

Pantatnya turun sedikit demi sedikit pada saat mencoba melesakkan kontolku ke relung vaginanya. Dan seperti kemarin malam, mentok di titik 50-60% dari panjang kontolku. Mbak Yun manatap mataku, aku tersenyum penuh arti.

“EH... tunggu, dik, jang… AHHHKKKG!!!”

Mbak Yun tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena aku sudah mendahuluinya dengan sodokan kuat. Tubuh mungilnya terlempar ke atas, lalu terjatuh lagi dengan kontolku masih bersarang di memeknya. Kubiarkan dia mengambil nafas.

“Ooogghh… gede banget, dik…”

“Apanya yang gede, mbak?” tanyaku berbisik.

“Punyamu…”

“Apaku?”

“Punyamu, dik…”

“Namanya apa, mbak?”

“Ooo… pe-penis…”

“Aku lebih suka bahasa Jawanya, mbak… namanya apa?”

“Eegh… ko-kontolmu, dik… gede banget… mbak… heh… mbak suka… enak…”

Aku mengubah posisi, menelentangkannya, kedua kakinya kini mencuat ke atas, dengan lembut kutaruh di kedua pundakku. Lalu sambil menatap kedua matanya, aku bertanya lagi. “Namanya apa tadi, mbak Yun? Yang bahasa jawa?”

“Eehh… ko-kont... HOUGHHLLLGHHHKKKKKKKKK… KKKHHGGGG… EGHG… EGH…”

Sekali lagi, sebelum dia menyelesaikan kata itu, aku sudah menderanya. Kali ini posisiku dominan banget, Man On Top. Kedua kakinya yang aku selempangkan ke pundakku membuka akses seluas dan sedalam-dalamnya terhadap memeknya. Sodokankupun langsung aku mulai dengan RPM tinggi. Kali ini bukan hanya menghentak, mbak Yun benar-benar menjerit. Puas menghentak dinding rahimnya, aku putar pantatku, diameter kontolku yang memang sudah menyesaki lorong memeknya memilin, menggesek tiap inci dari relung vaginanya. Jeritan itu berubah menjadi lolongan panjang. Hampir 20 menit aku menggoncang dunia sempit mbak Yun dalam posisi itu ketika dorongan itu mulai mendekat.

Aku sudah mau sampai, kupercepat sodokanku. Mbak yun sudah tidak nampak sebagai wanita alim berjilbab lagi, dia mengerang, melolong dan menjeritkan kalimat-kalimat kotor.

“AARGGHH... ANNJJJIINKK… ANJJJINKK… ENAGGGHHH… OOGGHH… DALEEM BANGGEEDDD… KONNTHHOL… AAARRRGHH… ACH… ACH... ACH… ACH… AAA… MEMEKKUU… ACHHNJJINKK… ENTOT AKU, DIK… ENNNAGH… AARRGHHH… EEGGHHNNNTOOT MEMEKKU, DIKK… ANNNJIIINKKK… AGHKUU KELUARRR… ANJJJINKKK… TERUUUUSSS…!!!!”

Spreiku sudah basah tak karuan rupa, cairan memek dia seakan tidak berhenti mengalir dari orgasme ke orgasme yang didapatnya. Gencotanku kupercepat… RPM sangat tinggi… mbak Yun melengking… dan sesaat sebelum aku menyemprotkan spermaku ke liang memeknya, “AGH…!!” 
mbak Yun tersentak ke belakang dengan keras lalu tiba-tiba terdiam.

Apa boleh buat, aku terlanjur sampai di ujung, dengan membenamkan kontolku sedalam-dalamnya, aku memuntahkan spermaku ke rahimnya.
CROOTT… CROTTT… CROTTT… CROTTTT… CROOTTTT… CROTTTTT…

Lemas, tapi aku langsung menepuk-nepuk pipinya, sempet takut campur panik gitu…

“Aaaaa… hhhh…” Aaa desahan lirih dari mbak Yuni… untung, ternyata dia tidak pingsan atau kenapa-kenapa…

Akupun langsung tumbang di atas tubuhnya. Mbak Yun dengan sisa-sisa tenaganya mengangkat tangan dan memeluk punggungku. Tapi tak berapa lama tangan itu terkulai lemas lagi.

“Hehehe… gila, mbak Yun luar biasa, aku sampai lemas banget…” kataku tersengal-sengal.

“Vaginaku rasanya mau jebol, heheheh…” jawabnya, ternyata sopannya sudah balik.

“Sakit?”

“Enaaakk…”

Lalu kita tergelak bersama, malam itu kita tidak jadi belanja, melihat kondisi mbak Yun yang tidak memungkinkan. Dia beneran lemes, sampai mau nonton TV aja minta gendong… manjanya ngalahin ABG. Belanjanya kita reschedule besok saja. Besok, aku juga berencana mengambil cuti, untuk “menemani” mbakku tersayang.

***
Aku masih menggenjot memek Umy ketika bel pintu di rumahku berdenting. Sekertarisku yang dalam posisi terlentang itu terlonjak-lonjak seirama dengan kayuhanku. Kakinya yang sebelumnya menjuntai-juntai ke samping ranjangku kini terangkat-angkat seiring meningkatnya RPM sodokanku. Tubuhnya yang chubby meliuk, tangannya mencengkeram dadaku dan teriakkannya gaduh. Memang Umy selalu berteriak-teriak heboh ketika kami bersenggama.

Kemarin sore mbak Yun harus kembali ke kotanya setelah mendapat kabar bahwa surat cerainya sudah turun dan ada beberapa berkas yang harus ditanda tangani.
Aku mengantarkannya ke pool travel dan memberinya uang saku yang cukup. Sebelum dia berangkat, dengan mesra dia memagut bibirku dan membuatku berjanji untuk mengunjunginya suatu saat. Dan aku pun menawarkan padanya untuk tinggal di Semarang dan mencoba mencari pekerjaan di sini. Mungkin dia bisa tinggal di rumahku sementara dia mencari pekerjaan. Bahkan aku berencana mengenalkan ke salah satu kolegaku untuk dapat diterima bekerja di perusahaan dia. Dia menyetujuinya sambil tersenyum penuh arti.

“OOOOHHHHH… PAAAAKKKKK…!!!” Umy mengejang-ngejang sementara maniku kusemprotkan semuanya ke relung vaginanya. Kontolku kubenamkan sedalam-dalamnya. Sementara Umy langsung tergeletak lemas, aku masih menyodok-nyodokkan penisku untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih menggelayut di ujung batang zakarku. Umy kembali tergoncang. Aku mengecup bibirnya dalam-dalam.

“Ada yang pencet bel,” kataku di sela engahan.

“AGHH…” erangnya pelan saat aku mencabut senjataku dari liang memeknya. Sekilas kulihat spermaku meleleh keluar dari bibir vaginanya yang memerah setelah hampir setengah jam kugenjot tadi. Pagi itu, Umy, sekertarisku, memang kuminta datang ke rumah sambil membawakan materi rapat untuk nanti siang, karena aku bilang padanya bahwa hari itu aku akan berangkat siang, kemaren kelelahan ‘mengurusi’ kakak ipar ponakanku yang sedang dalam proses perceraian. Tentu aku tidak menjelaskan dengan detail maskud dari ‘mengurusi’ tersebut.

Umy datang sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi. Karena aku tahu kalau yang datang dia, tanpa repot-repot memakai baju, aku langsung membukakan pintu. Tanpa dikomando, dia mengikutiku ke kamar dan kita ngesex. Kita memang sering banget ngesex tak tahu tempat, kadang di kantor, di sela-sela break rapat, di apartemen dia, di hotel, bahkan pernah di parkiran kantor.

Dengan hanya memakai kimono sembarangan, aku bergegas ke arah pintu.

“Siapa?” tanyaku.

“Pah, ini aku, Lastri…” jawab suara dari luar.

Eh? Lastri? Pintupun kubuka sambil kubenahi kimonoku yang serampangan. “Lho, gak menunggu rombongan yang dari mbak Yun gede, Las?” tanyaku.

“Enggak, Pah, jadwal rombongan mama masih TIGA HARI lagi. 
Lastri udah bosen di kampung.”

Well?
Lastri balik sendirian ke rumah, TIGA hari lebih cepat dari jadwal kedatangan rombongan istriku. Jadi selama tiga hari ke depan, doi bakalan di rumah hanya denganku...

“Ooo… ya udah, masuk. Bawaanmu mana?”

“Cuman ini aja kok, Pah. Kemaren juga Lastri gak bawa baju banyak waktu balik ke kampung, cuman ini ada oleh-oleh dari emak.” katanya sambil melangkah masuk.

“Weh, kok repot-repot to, Las…”

“Enggak kok, Pah, cuman sedikit… mmm, papah gak sendiri yah?” tanyanya menyelidik.

“Enggak, ada bu Umy tuh di kamar.”

“Eh? 
Bu Umy? Di kamar? Kok di kamar, Pah?” tanyanya terkejut.

“Eh… dia numpang ke kamar mandi, tadi datang bawain berkas buat rapat nanti siang.”

“Oooo…” katanya masih (kelihatan) menyelidik sambil melihat badanku yang masih penuh keringat.

“Ya udah, Pah, Lastri permisi ke kamar dulu.” lanjutnya.

“Ok,” jawabku pendek. “Las, ntar malem gak usah masak aja, kita makan di luar, Papah paling pulang sebelum jam 6, mandi bentar trus kita keluar yah?”

“Iya, Pah…” katanya sambil berjalan masuk ke kamarnya, di depan kamarku dia sempat berhenti dan melirik ke dalam, untung saja Umy sudah tidak tergolek telanjang di atas ranjangku dengan berlumuran lendir, kalau tidak… ya ga papa sih sebenernya…

***

“Las…” panggilku sambil membuka pintu kamarnya.

“Iya, Pah…” sahutnya sambil reflek menutupkan handuk ke badannya. 
Rupanya dia habis mandi dan sedang mau berganti baju.

“Eh, maaf…” kataku sambil mencoba menutup pintu kamarnya lagi.

“Ah… gak apa kali, Pah…” jawabnya polos sambil tersenyum aneh.

“Eeh, gini... Papah berangkat dulu. Kamu istirahat aja dulu, gak usah kerjain apa-apa, kan masi capek habis perjalanan. Tadi pagi Papah sudah bersihin rumah kok, cuman nanti akan ada orang anterin laundry, uangnya di meja telepon… eeemm, apa lagi ya? Eh, dan untuk makan siang, papa dari kemaren cuman beli roti, semua ada di kulkas, kamu makan aja...”

“Iya, Pah…”

“Kamu mau nitip apa kalau papah pulang nanti?” tanyaku lagi.

“Enggak, Pah, makasih… kan katanya mau keluar lagi.”

“Eh, iya, ding… ya udah, baik-baik ya di rumah.”

Lastri cuman tersenyum dan mengangguk. 
Sumpah man, gimana gitu. Sekilas terbayang adegan ciuman kita beberapa minggu yang lalu. Akupun mengerjap, memaksakan kesadaranku untuk segera kembali ke akal sehat, lalu berbalik. Beberapa langkah kemudian aku menengok dia. Dia masih mematung di posisinya semula masih dengan hanya selembar handuk yang menutupi badannya sambil masih (juga) tersenyum, kali ini sedikit ada pancaran geli di matanya. Sialan memang anak 17 tahun ini. Dan sejak ciuman itu, aku selalu salting di depan dia. Brengsek, macem ABG aja aku nih!

***

Aku bergegas membuka pintu depan, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 18.45, memang pertemuan itu memakan waktu sedikit lebih lama dari yang kuperkirakan. Tapi sebenernya SO WHAT? Kenapa hanya karena terlambat sedikit dari janji pulang sebelum jam 6 dengan pembantu kecilku, Lastri, aku jadi grasa-grusuh gini? Macem abg janjian ama gebetan barunya aja. Memasuki ruang tamu, kucoba untuk meraih kembali kendali diriku. Kupelankan langkahku, kuatur nafasku dan kubuat pembawaanku sekalem mungkin. Dan aku kembali melangkah.

Di ruang tengah kulihat Lastri sudah rapih, duduk dengan manis dengan menonton tayangan sore. Aku berdehem, dengan ringan kulihat dia menoleh. “Eh, Papah. Maaf, Pah, Lastri gak mendengar mobil papah masuk ke halaman… jadi tidak bukain pintu…” katanya sambil bergegas bangkit dan mengulurkan tangannya untuk mengambil koper kerjaku.

“Eh, ga papa, Las. Papah emang ga masuk halaman, mobil papah parkir di jalan… emm, maaf papah agak telat, soalnya tadi rapat… ee…”

“Ya gak papa to, Pah, kan kerjaan papah lebih penting…” katanya sambil tersenyum.

Aku hanya bisa membalas senyumannya sambil garuk-garuk kepala… kemaren kakak iparku yang sok berperan sebagai istri yang manis, sekarang ada anak umur 17an yang sok mengerti aku, sok jadi seperti pacar yang pengertian. 
Panggilnya papah, tapi sikapnya GFE. Buset, what a life I had.

Geleng-geleng kepala aku menggeloyor ke kamar, sekilas kulirik Lastri yang berjalan ke arah ruangan kerjaku untuk menaruh koperku di sana. Dia kulihat memakai kaos ketat lengan panjang berwarna pink muda dengan potongan leher sampai bahu, daleman you can see kuning tampak melintang di pundaknya, dipadu dengan semcam balero jala-jala putih yang agak gombrong sepaha. Sedangkan di bawahnya dia memakai hotpants dari jeans hitam sebatas paha yang mempertontonkan kakinya yang jenjang dan putih khas remaja.

Rambutnya disisir ke belakang dengan memakai japitan di tengah kepala dan sisanya dibiarkan tergerai. Di telinganya dua anting berbentuk Winnie the pooh berwarna senada dengan kaosnya menempel dengan lucu, dan beberapa gelang warna-warni menghiasi tangan-tangan rampingnya, tidak lupa beberapa aksesoris kalung juga menjuntai dengan indah melewati dada kecilnya. Sepatu flat standar yang dia pakai aku ingat betul, itu hadiah ulang tahun dari kami sekeluarga, sepatu keluaran Zara ini memang sedikit agak mahal untuk hadiah kepada pembantu, tetapi sekali lagi Lastri sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Tidak ada istilah pembantu di keluarga kami, semuanya bekerja sama dalam hal mengurusi rumah.

Tak lama kemudian aku bergegas keluar dari kamar mandi, kulihat sebuah celana jeans dan T-Shirt hitam faforitku, dengan seperangkat pakaian dalam sudah ada di ranjangku yang sudah diganti spreinya. Sprei yang seingatku tadi pagi penuh dengan lelehan lendirku dan Umy yang aku genjot di sana. Aku tersenyum simpul memikirkan betapa beruntungnya nasib bajingan seperti diriku. Sambil garuk-garuk keapala aku pun memungut pakaian yang sudah disiapkan gadis kecilku itu. Ah, bahkan sampai berpakaianpun dengan halus Lastri berhasil mengaturku. Aku semakin geleng-geleng kepala. What a life!

“Sudah siap?” tanyaku saat kulihat Lastri dengan telaten duduk di ruang tangah, sedang TV sudah dia matiin.

“Sudah, Pah.” jawabnya. Aku semakin geleng-geleng kepala. 
Perasaan jadi kayak mo ngedate… padahal cuman mau makan aja.

“Lastri mau makan apa?” tanyaku ketika mobil kita sudah mulai jalan.

“Apa aja deh, Pah.” jawabnya yang duduk di sampingku.

“Papah ajak ke tempat yang special, namanya Laluna. 
Tempatnya asik, dari sana bisa liat pemandangan Simpang Lima.”

“Wah, kedengarannya asik banget tuh, Pah.” jawabnya, entah beneran ato tidak tetapi matanya kulihat berbinar semangat seiring dengan senyum lepasnya waktu mengatakan hal itu, sesuatu yang akan bikin cowok manapun akan berbesar hati karena merasa amat sangat dihargai pilihannya. 
Bisa aja nih anak!

Aku segera berbelok ke arah ruang parkir yang kosong, kamipun segera keluar dari mobil. Waktu menunjukkan pukul 19.15 saat aku lirik jam tanganku.

“Lastri sudah lapar banget atau mau jalan jalan dulu di mall?” tawarku pada gadis kecil yang sekarang berjalan sedikit menghimpit di sebelah kiriku.

“Mmm… kalau papah ngasih pilihan jalan dulu, ya… jalan dulu lah, Pah…” jawabnya sambil tertawa renyah.

“So it is…” desahku.

Kami pun memasuki jembatan yang menghubungkan tempat parkir dengan mall. Sepanjang jalan Lastri kelihatan riang. Seperti layaknya ABG aktif, dia ‘meloncat’ dari stand ke stand lain sambil memegang apapun yang berbau fashion dan pernak-perniknya. Dan aku seperti om genit yang tolol mengikuti kemanapun arah langkahnya. Sesekali dia mengapit mesra tanganku sambil menunjukkan barang-barang yang membuat dia tertarik. Setiap kali pula aku menawarkan apakah dia mau membelinya, dan hampir setiap kali dia menolaknya, dia cuman mau windows shopping, katanya. Dan lucunya setiap kali ada orang memandang aneh kepada kami, karena (sumpah) ane emang nampak seperti om-om genit yang baru nurutin keinginan ABG simpenannya, dia selalu (mungkin) dengan sengaja panggil aku ‘Papah’ dengan keras. Mungkin Latri mengira panggilan itu bisa mengaburkan pandangan negative mereka. Bisa aja ni anak. Seperti di salah satu boutique yang kita masukin.

“Pah, ini bagus ga?” kata Lastri dengan keras setelah dia memilih dan mencoba sebuah dress terusan dengan atasan model gombrong dan bawahan berupa rok mini yang ketat berwarna hijau gelap yang kontras dengan kulitnya yang putih.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum kalem sambil mengacungkan jempol.
“Putrinya, Pak?” tanya salah satu dari mereka, aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu.

“Udah besar ya? Padahal papanya masih muda gini,” kata mbak itu semakin genit.

“Yah… aku bersyukur sekarang, do’aku dijawab oleh Tuhan; kenakalan masa remajaku ternyata diampuni oleh tuhan dengan mengirimkan malaikat cantik itu kepadaku.” jawabku sedikit berteka-teki.

“Ooo… terus mamanya? Eh, maaf lho, Pak, malah jadi nanya-nanya, abis penasaran sih, hihihi…”

“Pernah lihat pernikahan usia dini bermasalah?” jawabku sambil meliriknya.

“Buanyaak banget kale, Pak, malah hampir semua…” jawabnya.

“Nah, itulah yang terjadi.” aku tersenyum lagi sambil mengangguk-angguk ke arah Lastri ketika memberikan persetujuan atas baju lain yang sedang dia coba.

“Ooo… mau dunk jadi mamanya, hihihi…” temennya ikut menimpali. Aku hanya tersenyum geli mendapati ‘sandiwara’ spontan kami di respon dengan sangat meyakinkan oleh orang-orang itu.

Pukul 20.30 kami duduk di restoran di meja yang memang sudah aku pesan sebelumnya. Beberapa tas belanjaan terpapar di samping kursi Lastri. Akhirnya belanja juga…

“Makasih ya, Pah, malah jadi beli beliin Lastri yang macem macem…” katanya ketika pelayan yang mencatat pesanan kami berlalu. Aku hanya tersenyum memandang wajah dia. 
Entah apa yang ada di otakku.

“Iya, pemandangannya indah banget dari sini, Pah… kalau gak diajak papah, mana mungkin Lastri sampai ke tempat ini.”

“Iya, kadang papah kalau merenung suka ke sini sendirian, tempatnya adem dan inspiratif…”

“Dan romantis…” timpalnya.

“Eh, oya? 
Menurut kamu gitu?” aku sedikit geli dengan kata itu.

Lastri hanya tersenyum.

***
Kami memasuki rumah pada jam 22.30. Lastri sedikit limbung didukunganku karena mungkin sedikit mabok. Mabok? Yup, seperti kebiasaanku saat makan di Laluna, aku pasti membuka wine untuk menemani Tenderloin Black Pepper Sauce yang kupesan. Dan dia bersikeras untuk ngerasain wine. Sudah kubilang itu mengandung alkohol, tapi dia maksa. Setelah seteguk melewati tenggorokannya, dia bilang enak juga, ujung-ujungnya kita open sampai dua botol. Buat anak yang (mungkin) seumur-umur belum pernah minum alcohol, hasilnya ya teler. Fuih… emang badung ni anak!

Memasuki ruang tamu, aku tidak sabar menuntun langkahnya yang terhuyung, segera tubuh mungil itu aku gendong. Matanya yang setengah sadar, menatap manja kepadaku sambil tersenyum. Pikiranku mulai kacau. Entah kenapa dada kecil yang melengkung di boponganku dan sentuhan paha pada lenganku membuat libidoku terbakar. Kegilaanku tersulut, niatku untuk tidak sampai menidurinya karena sudah aku anggap anak sendiri aku khawatir akan segera pupus...

“Pah…” panggilnya.

“Iya…” jawabku, masih menggendongnya.

“Malam ini Lastri bobok di kamar papah ya?” pintanya menggoda.

“Kamu mabuk…” kataku pendek.

“Mabuk cinta…” desahnya sambil menggeliat mengeratkan pelukannya kepadaku.

Eh?

Aku geleng-geleng kepala, mengabulkan keinginannya. Aku menggendongnya berbelok ke kamarku. Sesampainya di sana, langsung aku rebahin ke ranjangku. Ranjang yang sudah menjadi saksi bisu kebejatanku dalam menggumuli wanita-wanita selain istriku. 
Tubuh mungil itu tergeletak pasrah di sprei putih dalam terangnya lampu kamar yang memang sengaja aku nyalain semua. Menghindari aura romantis apapun yang bakalan mematahkan niatku untuk menjaganya.

“Kamu mabok, Las… cepat tidur, biar besok tidak pusing kepala…” bisikku lirih.

“Iya, Pah… aku mabuk… aku mabuk cinta, Pah… cinta sama Papah… aku sayang papah… peluk aku, Pah… please…” jawabnya sambil menggeliat lalu mencengkeram bahuku kuat-kuat.

Aku melepaskannya dengan lembut lalu beringsut sambil garuk-garuk kepala.
Setengah mati aku menahan libidoku untuk tidak segera menggumuli dia dan menyodokkan kontolku ke lobang memeknya yang pastinya masih sempit dan legit.Aku bertahan mati-matian. Tapi… kenapa aku bertahan mati-matian? Rasa sayang kah? Ini gila! Ini membuatku gila! Dan semua kegilaan ini… Arrrgh!!

Lastri sudah mulai tenang, aku membelai kepalanya, dan menatapnya lekat-lekat lalu aku (entah dorongan dari mana) mengecup keningnya. Dia tersenyum. Kali ini harus aku akui lagi, man! Senyumannya emang manis… lalu kelopak matanya yang memang sudah sayu itu perlahan menutup, sedetik kemudian desisan nafas halus sudah terdengar dari hidungnya. Dia tertidur. Aku geleng-geleng, lalu tertawa sendiri. Keluar dari kamar, aku menghampiri kulkas dan mengambil satu botol air dingin. Kuteguk sampai setangah, sedangkan setengahnya lagi aku siramkan ke kepalaku.

***

Selimut itu kubenerin, karena aku masih merasa dingin dan belum ingin bangun. Di dalamnya aku masih menggeliat dengan enggan, bersiap untuk tidur lagi, ya karena aku tahu hari itu aku libur… sampai guyuran kesadaran itu menghampiriku. Aku terlonjak. Siapa yang menyelimutiku? Seingatku semalam, setelah mati-matian bertarung dengan libidoku sendiri, aku keluar untuk minum air dingin dan mengguyur kepalaku, lalu aku merebahkan diri di sofa. 
Yap ini sofa yang sama dengan semalam, hanya plus selimut. Aku tersenyum menyadari kemungkinannya. Lastri.

“Eh, Papah sudah bangun?” suara Lastri terdengar.

Ternyata dia sudah mandi dan mulai bersih-bersih rumah. Itulah salah satu yang membuat kami sayang sama dia, Lastri ni di luar usianya yang masih seumur jagung, dia rajin dan bertanggung jawab. 
Bahkan pada saat kita menawarkan untuk melanjutkan SMA aja di kota ini, dia menolak, dia bilang dia ikut keluarga kita untuk kerja dan membantu kami, bukan untuk merepotkan. Akhirnya kita sepakat untuk mengikutkan dia ke program home schooling. Dengan ijazah nantinya setara SMA. Karena kita semua sayang dia. Sayang dia… mmm, kukira baru-baru ini kata itu memiliki arti tersembunyi antara aku dan dia… or is it, cuman buatku? GILA!!!

“Yap, papah mau mandi dulu…” ujarku singkat sambil melompat bangun dari sofa ruang tengah, tempat aku tertidur semalam. Ough… kepalaku pusing banget, kemungkinan besar hasil kolaborasi antara alcohol, dinginnya guyuran air es dan nahan libido semalem. Kombinasi yang sadis!

“Pah…” panggilan Lastri menghentikan langkahku.

Aku melirik lalu berbalik dan mengangkat alisku, isyarat kepadanya untuk melanjutkan perkataannya. Terlihat rambutnya yang sedikit berombak masih basah sehabis keramas, dia memakai kaos putih agak longgar berpotongan leher lebar dengan hotpants pantai yang longgar pula. Seger cuy…

“Lastri… minta maaf, kalau semalam… merepotkan… dan… berlaku tidak sopan… yang… mungkin bikin papah tidak berkenan… Lastri gak tau kenapa latri berani berlaku seperti itu… maafin ya, Pah…”

“Mmm, enak aja minta maaf gitu aja… kamu harus dihukum…” kataku bercanda sambil senyam-senyum dan mengangkat-angkat alis.

Lastri tersenyum, lalu sambil mengangkat-angkat alis juga menirukanku, dia bilang, “Lastri siap dihukum apapun, Pah…”

“Apapun? Hmm, ntar deh papah pikirin hukumannya…” Aku berbalik sambil jual mahal.

Dari sudut mata, kulihat dia tersenyum genit sambil menjulurkan lidah. Awas ya!

***
Aku membalik Koran sabtu itu dengan enggan sambil bertengger di kursi santai samping kolam Koi belakang rumah, relax sehabis mandi pagi di hari libur yang tenang itu. Aku memakai celana kombor putih dan baju dalem santaiku. Aku cuek kalau celana gomborku tidak menampung juniorku dengan sempurna. Jadi makhluk tengil itu kubiarkan leluasa menerobos celah di kaki celanaku sambil mengintip matahari pagi. Junior juga kadang pengin berjemur, hehehe…

“Ini, Pah, kopinya.” suara Lastri terdengar.

“Yup, taruh aja di situ…” kataku sambil melirik sedikit dan masih sedikit fokus ke koran.

Lirikan sekilas itu ternyata tidak sebanding dengan efeknya. Posisi Lastri yang membungkuk menaruh kopiku di meja pendek itu membuat bagian leher kaos longgar yang dia kenakan membuka cukup lebar untuk aku dapat melihat BH coklat mungil yang membungkus dada kecil imutnya. 
Semerta-merta junior bangkit. Dan kebangkitannya yang mendadak itu tentunya menghasilkan gerakan yang mengundang perhatian, karena junior memutuskan untuk bangkit di luar celana, menerobos celah lobang kaki celana yang gombrong.

“Ah!” Lastri sepontan sedikit terlonjak, sambil memalingkan muka ketika melihat proses itu.

“Halah, kaya ga pernah liat punya papa aja kamu, Las… dua kali lho papa mergokin Lastri ngintip papa ama mama berhubungan di sofa ruang tengah.” aku membela diri tak kalah spontan.

“Eh… iya, abis Lastri kaget… eh, anu, Pah… soal ngintip itu… Lastri minta maaf, waktu itu… anu, Pah… mama mendesah cukup kenceng… jadi kedengeran Lastri… jadi penasaran deh… eh, maaf kalau itu membuat mood papa jadi down saat… ngegituin mamah…” jawabnya terbata-bata.

Aku garuk-garuk kepala sambil ‘menyimpan’ si otong kembali ke kandangnya. Kalau kukatakan aku tambah terangsang waktu lihat dia ngintip karena di dalam bayanganku dialah yang kuentot… wedew!

“Eh, jadi kamu penasaran? Lalu cepet-cepet ngambil dildo mamah buat masturbasi sambil ngintipin mamah papah ML? 
Mmm… ada sesuatu yang bener-bener harus kamu klarifikasi!” kataku dengan akting sok marah.

Lastri menunduk di depanku, mimik mukanya kelihatan takut, tapi aku tahu matanya masih lirak-lirik ke juniorku, aku biarkan itu.

“Betul kan?” desakku lebih lanjut, masih akting sok marah.

“I-iya, Pah. Maaf, itu memang mainan burung-burungannya mamah… Lastri lancang minjem, tapi sudah Lastri cuci dan balikin lagi kok… tapi Lastri salah, Lastri mohon maaf, Pah…” jawabnya polos dan jujur. Satu lagi yang kami suka dari Lastri, dia jujur dan mau bertanggung jawab. 
Tidak seperti pembantu lain yang lebih suka ngeles.

“Maksud papa… hrmm (dehem karena canggung) walau dildo itu ukurannya sedikit kecil, tapi kalau kamu masukkan semua ke vagina kamu… itu bisa merobek selaput keperawananmu…”

Lastri mendengus dan tersenyum malu-malu sambil masih menunduk. “Lastri udah gak perawan, Pah…” katanya kemudian dengan enteng. 
“Itulah kenapa Lastri malu sekali dengan kata-kata Lastri semalam ke papah. Lastri saat itu seperti mengingkari status Lastri sendiri… yang cuman pembantu dari desa… yang sudah mendapatkan kasih sayang sedemikan banyak dari keluarga ini… malah masih mau lancang mengharapkan papah… maafin, Lastri serakah… dan lagipula, Lastri juga tidak ada yang bisa dipersembahkan ke papah, misalkan papah menghendaki… eee… maksud Lastri… anu… kan Lastri…” lanjutnya terbata.

“Ayolah, Lat, kamu tahu kami menyayangimu. Kami tidak pernah melihat back ground kamu… kalau kamu tidak keberatan, papah pengin tahu masa lalu kamu, kok sampai Lastri bilang sudah tidak perawan itu gimana? Coba-coba dengan pacar kamu, atau… padahal Lastri kan baru 17 tahun…” ujarku memotong ucapan terbata-batanya sambil menggeser posisi duduk dan menepuk-nepuk bantalan kursi yang aku duduki, memberi isyarat kepada Lastri untuk duduk di situ, berbagi kursi.

“Ehmm…” Lastri memulai ceritanya dengan senyuman kecut, dia mengikuti isyaratku dan mulai duduk di sebelahku, berbagi kursi. “Latri tidak perawan bukan karena coba-coba dengan pacar, Pah, tapi karena bapak Lastri…”

“Hah!! Maksudnya?” aku kurang mencerna penjelasannya. “Kamu diperkosa sama bapak kamu?” Aku masih mencari penjelasan, karena setahuku Lastri sudah yatim sejak beberapa tahun, kalau aku gak salah denger berita, ayahnya meninggal dalam kecelakaan KA. Tapi kalau ada pengalaman kekerasan sexual, mungkin dia termasuk anak yang ke depannya memerlukan perlakuan khusus, biar tidak terjadi trauma. Well, as I told you, kami sekeluarga menyayanginya.

“Bukan begitu, Pah… Lastri emang sudah tidak perawan dari SMP… karena keperawanan Lastri dijual sama bapak untuk menutup hutang judinya…” lanjutnya dengan getir. “Lalu emak tahu, emang emak tidak melaporkanya ke polisi, tapi emak langsung minta cerai ke bapak dan melarang bapak mendekati keluarga kami. Bapak langsung pergi dan tak berapa lama kemudian kami dengar bapak menjadi korban kecelakaan kereta arah ke Jakarta…”

“Eh? Oya?” serius aku terkejut, ternyata Lastri yang selalu ceria mempunyai masa lalu yang demikian tragis. 
“Trus? Eh, maksud papah, pas kejadian itu, kenapa kamu nurut aja? Kenapa tidak berontak?” tanyaku lebih jauh.

“Saat di kamar dengan orang itu, Lastri marah, takut dan perasaan benci banget sama bapak. Lastri berontak, menangis dan mencoba lari, tapi dia mengancam akan membunuh Lastri dan ibu kalau Lastri tidak menurut… Lastri lalu menurut karena ancaman itu kelihatannya tidak main-main, dia preman dan rentenir yang cukup terkenal ganas di daerah kami dan katanya memiliki backing aparat… lalu saat orang itu menelanjangi Lastri dan mulai menciumi Lastri, meraba-raba serta menjilati dada Lastti, Lastri jadi… eh, anehnya Lastri jadi tidak takut lagi, malah lebih ke gemetaran yang aneh, trus... malah anehnya Lastri jadi menurut karena tidak bisa menahan getaran itu… lalu dia mulai kangkangin kaki Lastri dan berusaha masukin burungnya ke lubang Lastri… lebih aneh lagi, Lastri tambah nurut aja, malah seperti penasaran gimana rasanya…”

“Eh? Oya?” potongku singkat berusaha mencerna cerita Lastri.

“Maksud Lastri… eh, tapi baru saja burung orang itu masuk sedikit ke lubang Lastri… dia langsung… ehm, muncratin… anu… eh, lalu trus dia langsung selesai dan… jadi malah langsung lemas… jadinya Lastri malah jadi gemes… maksudnya, penasaran gitu… lalu Lastri tunggu kali aja dia mencoba lagi, tapi dia malah langsung keluar kamar dan ngobrol sama bapak. Tak lama kemudian Lastri diajak pulang… dan karena… eh, itu… Lastri malah jadi ketagihan… eh! Emm… maksudnya, penasaran…” lanjutnya terbata.

Aku bengong… Kalau pada saat itu benar-benar tidak terjadi penetrasi, kemungkinan dia masih perawan… Tapi aku (entah kenapa) tidak mau mengutarakan kemungkinan itu, well paling enggak Lastri tidak trauma dan kalau dia tidak mengalami hal yang dia alami tersebut mugkin kejadian ini tidak akan pernah ada.

“Trus?” tanyaku penasaran.

“Ya walau Lastri penasaran, tapi Lastri tetap gak berani ngajak gituan sama laki-laki, Pah, karena menjaga nama emak di kampung juga. Lalu ada temen Lastri yang membawa film di HP… tentang cewek yang main-mainin miliknya sendiri… katanya namanya masturbasi… Lastri coba-coba dan ternyata… eh, makanya sejak saat itu… Lastri jadi ketagihan… eh, maksudnya keterusan… anu… masturbasi…”

“Oya?” aku garuk-garuk kepala, dia mengangguk. 
Seperti cerita fiksi aneh dari film bokep JAV murahan. But what the hell…

“Trus, apa yang pernah kamu… eghmm… masukin? Maksudnya pas masturbasi gitu…” tanyaku lebih lanjut, setelah tahu dia tidak mengalami kekerasan sexual yang dapat membuatnya trauma, aku malah jadi penasaran bagian masturbasinya cuy… maklum, aku lelaki normal… well, lelaki bejad tepatnya!
“Awalnya ya cuman jari, Pah… lalu akhir-akhir ini Lastri menemukan… mainan mamah…”

Aku garuk-garuk kepala lagi, dan juniorku semakin ngaceng mendengar cerita itu… “Las…” kataku sambil menelan ludah.

“Iya, Pah…”

“Kamu masih penasaran sama punya cowok yang asli?” Gila! 
Aku sendiri tercekat sama kata-kata yang barusan aku ucapin. Goblok! Bego! Tolol!

“Ah, Papah… malu, ah…”

“Kalau papah minta Lastri pegang punya papah, Lastri mau gak?” ujarku lebih lanjut. Terlanjur basah man! Well, dalam hal ini terlanjur kentang! Anjriitt!!! Apa yang gw lakukan???

“Mau! Mau banget, Pah! Eh, anu… ee, maksudnya… jangankan cuman disuruh megang punya papah, disuruh megang bara api sekarang juga Lastri mau, Pah! Jasa papah dan keluarga ini besar banget untuk Lastri bisa bales…” katanya sok diplomatis.

Eh?

Latri mulai menggerakkan tangannya (awalnya sedikit canggung) untuk memegang kontolku.

“Oough! Tangan kamu anget banget, Las…” aku berkata sambil menikmati genggaman dia.

“Ehh… kok gede banged sih, Pah? Lastri kira mainan mamah udah gede… burung rentenir yang dulu membeli Lastri lebih kecil lagi dari burung burungan mamah…” katanya sambil memegang kontolku dengan dua tangan, menyusuri figurnya dari pangkal ke ujung dan melakukan gerakan meremas-remas gemas, sedangkan matanya melotot melihat siluetnya yang tercetak di balik celana.

Aku hanya tersenyum, tanganku pun tidak diam saja, aku meraih ke depan dan sukses mendarat di dadanya. Aku membelainya pelan. Mungil… imut… kenyal... sekaligus lembut… benar-benar khas dada ABG… Lastri mendesah dan memandangku sayu. Tanganku bergerak ke samping, tepat di ketiaknya. 
Dengan sekali sentakan, Lastri kuangkat lalu kududukkan di pangkuanku. Kami berhadapan. Mata kami bertemu. Pandangannya tajam, menantang. Sedangkan aku… kembali dilanda keraguan.

Aku berada dalam posisi duduk sekarang. Kakiku menjuntai menapak lantai. Sedangkan Lastri berada di pangkuan pahaku dengan posisi kedua kaki mengangkang dan menghadap kearahku. Dalam posisi itu, selangkang kami memang belum saling menggesek, tapi jaraknya hanya hitungan centi. Aku memeluk pinggulnya, sedangkan tangannya masih berusaha mengkucel-kucel kontolku. Pandangannya lurus ke mataku. Anak 17 tahun ini membuatku grogi. Aneh…

Beberapa lama aku cuman mematung, bimbang antara nafsu dan akal sehat, sampai Lastri meremas lagi senjataku dari luar celana. Kucengkeram erat pinggulnya. Kutarik maju sehingga posisi selangkangan kami saling menempel, walau barang kami masih ada di dalam celana masing-masing.

Lastri mendesah tertahan. Tanganku merambat naik ke punggung dia, kurasakan geronjal kecil, tali belakang BH dia. Tanganku terus naik, mengusap dan menggenggam tengkuknya. Lehernya yang kecil hampir muat kugenggam dengan sebelah tanganku. Lalu tanganku bergerak maju, mengusap pipinya, bibirnya yang mungil namun merekah itu tak lepas dari sentuhan jari-jariku. Latri mendesah, alih-alih dia memejamkan mata, pandangannya malah lebih tajam menusuk mataku. Kuusap rambut bagian belakang dari kepala kecilnya, tanganku bergerak ke dagunya dan perlahan kutrik ke depan untuk mendekatkan bibirnya ke bibirku. Dia belum juga menutup matanya. Sampai bibir kami bertemu dan desahan kecil itu kembali tersedengar dari mulutnya.

Dan kami berciuman.

Sama seperti French kiss kita yang pertama, ciuman demi ciuman kudaratkan dengan penuh penghayatan di bibir dia, lidah kami pun saling membelit. Suara cepakan dan cecapan terdengar dari bibir dan lidah kami dalam balutan air ludah yang kami pertukarkan serta berpadu dengan nafas kami yang saling memburu oksigen di sela-sela jeda longmarch kegiatan silat lidah kami. Namun bedanya kali ini dia dengan berani memeluk bahuku dan mengusap-usap tengkukku seiring ritme yang tercipta diantara kami, sedangkan tanganku mengelus, meremas dan menjelajahi pantat mungilnya serta mendorong-dorongnya ke depan untuk menggesekkan selangkangan kami. 
Dia menanggapinya dengan semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku.

Foreplay yang panas dan romantis.

Kegiatan saling belit itu berlangsung agak lama, aku memang sangat menikmati moment ciuman dengannya dan tidak ada alasan untuk tergesa-gesa. Namun seiring waktu, ciumanku kupadu dengan cecapan dan jilatan ke leher dan telinga Lastri. Lastri seperti tidak mau kalah, ciumannya pun mendarat bertubi-tubi di wajah dan leherku.

Sejenak kurenggangkan jarak tubuh kami, wajah kami pun menjauh. 
Kutatap matanya, Lastri balas menatapku. Sekian lama kami membisu dan bertukar pandang. Mengatur nafas. Mengatur ritme. Dan aku menanyakan sekali lagi ke hatiku, benarkah aku menginginkan ini?

Tiba-tiba Lastri melengkungkan badannya ke belakang, dia menggunakan tangannya untuk menyangga tubuhnya dengan menumpukannya ke kedua lututku. Dada kecil itu sekarang tersaji dengan menantang di depan mataku, dia menatapku seakan menantang. Dan dia tersenyum, misterius, aneh sekaligus menggairahkan. Lastri sejenak melirik dadanya sendiri lalu kembali menatapku. Masih dengan senyuman menantang.

Menerima tantangan itu, tanpa menunggu lama lagi, kususupkan wajahku ke dadanya, kukenyot kedua buah dada kecil itu dari balik kaos dan BHnya yang masih terpasang. Sejenak bermain di permukaan dadanya, tanganku mulai menelusup ke balik bajunya. 
Dia mendesah, dengan masih melengkungkan badannya ke belakang. Suara desahannya semakin menjadi.

Mulutku bermain-main di perut datarnya ketika kedua tangganku menyingkapkan kaosnya. Lastri mendesah lagi, lalu membantuku untuk membuka bajunya sendiri. Payudara kecil itu masih terlindung BH berwarna krem, tapi salah satu putingnya sudah sedikit mengintip keluar dari BH kecil yang ternyata masih sedikit kegedean buatnya. Puting itu cerah, berwarna merah muda segar dan menantang, wujudnya sebesar ujung jari kelingking serta tampak sudah mengeras. Semerta-merta kudaratkan lidahku dengan gerakan menyapu ke atasnya.

“Aaaaaagggghhhhh…” Lastri mendesah panjang seiring sentuhan lidahku di permukaan putingnya.

Sejenak kemudian, BH nya sudah tanggal di lantai sedangkan sapuan dan jilatan itu sudah berubah gaya menjadi kenyotan dan empotan halus. Kedua tangannya yang tadinya bertumpu di lututku berpindah ke leherku, sambil bergelayutan mesra. Aku menyapu seluruh permukaan payudara kecilnya dengan bibir dan lidahku. Tanganku melingkar dipinggul kecilnya untuk membantunya mempertahankan posisi itu. Sengaja kupertahankan untuk menyentuhnya seringan mungkin agar muncul efek geli yang berdasarkan pengamatanku dari rangsangan-rangsangankuku beberapa saat tadi, aku ketahui semakin mengangkat birahinya. Lastri semakin menggeliat-geliat liar. Beberapa saat kemudian, tubuhnya mengejang menyentak-nyentak, kakinya yang sebelumnya menjuntai mengapit erat pinggulku disertai pekikan keras.

“Aaaaakkkkkkhhhhh…”

Lalu tubuhnya terhempas, kepalanya tersandar lemas di bahuku dengan kaki masih mengangkang, selangkangannya bergesekan dengan selangkanganku. Dadanya yang sudah mulai berkeringat menempel erat di dadaku. Terengah-engah, dia berusaha berkata… “Papaaaah… eehhh… hhhh… Lastriii… eehhh… hehhh… hehhh …” katanya sambil memelukku lebih erat. Badannya masih melejat-lejat lemah lebih lanjut.

Kurasakan celana di atas memeknya basah kuyup, rupanya dia mendapatkan orgasme. Seperti bekas yang kutemukan di lantai beberapa saat setelah dia orgasme waktu masturbasi sambil mengintip aku dan istriku yang sedang bersenggama, ternyata dia jenis cewek basah. Lendirnya banyak banget. Jenis cewek kayak gini ini biasanya cepet banget orgasme, tapi juga langsung lemes setelahnya karena produksi hormone yang berlebih, tapi cepet panas lagi, sebagian besar cewek dengan type ini mampu menghandle multi orgasme, sebagian lagi langsung lemas setelah first-O.

Tapi cewek jenis ini bisa diajak longmarch apabila melakukan hubungan sex, karena lendirnya yang terus menerus keluar, jadi tidak membikin Mr. P lecet. Salah satu jenis cewek favoritku. Pernah aku menggarap ABG setype dengan dia, semalam mampu melayaniku tujuh kali, tapi esok paginya dia tepar. Dan dua hari kemudian meneleponku untuk mengajak ngesex lagi, gratis katanya… ketagihan dia rupanya. Hehehe…

“Kamu sudah dapat orgasme, Las?” kataku sambil tersenyum menatap matanya, tubuhnya sekarang sudah agak menjauh, sehingga kami dapat saling berpandangan. Tangannya masih bertengger di bahuku dan nafasnya masih ngos-ngosan. Kulirik dada kecil itu… kenceng. Ampun DJ! Mana tahan…

“Ah, papah nakal…” jawabnya singkat sambil tersenyum juga di sela sengalan nafasnya.
“Pindah dalem yuk, di sini sudah mulai terik mataharinya…” ajakku.

“Ayuk, Pah…”

“Di kamar papah atau di kamarmu?”

“Di kamarku aja, Pah…”

“Kenapa?”

“Biar keliatan papah yang nakalin Lastri, hihihi…”

Aku mencubit hidungnya dan mulai berdiri sambil menggendongnya. Seperti menggendong anak kecil di depan, kakinya melingkar di pinggangku, otomatis memek basahnya menempel ketat di kontol tegangku. Sedangkan tangannya menggelayut manja di leherku. Kepalanya dia sandarkan ke pundakku. 
Sengaja sambil menggendong aku remas-remas pelan pantatnya sambil mengobel pelan daerah lobang pantat dan lobang memeknya. Sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku, kudengar dia mendesis-desis halus. Kurasakan cairannya tambah membanjir. Apalagi seiring langkah kakiku, kelamin kami saling menggesek dengan cara beradu yang (menurutku) erotis. Kontolku tambah kencang, libidoku naik, nafsuku sudah tak tertahankan. Kali ini, memeknya yang memang sudah tidak perawan itu pasti akan kujelajahi setiap inci pada relung kenikmatannya.

“Aackhhh…” erangnya pendek saat aku membaringkannya ke ranjangnya sendiri sambil dengan sengaja menyorongkan senjataku ke selangkangannya. Matanya, seperti sebelumnya, menatap, kali ini diantara senyum anehnya, Lastri meggigit kecil bibir bawahnya. Erotisme Lolita… ancurrr...

“Aaaahh… papah nakal…” desahnya lagi sambil tersenyum lebar.

Aku meringis sambil mengangkat-angkat alisku dengan mimik om-om genit. Hehehe…

"Peluk Lastri lagi, Pah..."

Hmmm...


Aku memutuskan untuk tidak memeluknya kali ini. 
Lagipula, aku masih ada janji untuk menghukumnya, dan itu akan kulakukan. Hehehe… becanda. Kupegang kedua betisnya, lalu kukangkangkan kakinya. Dengan gerakan lemas kakinya mengikuti arah tanganku. Aku meliriknya sekilas sambil tersenyum simpul. Matanya seolah bertanya apa yang hendak aku perbuat. Tanpa basa-basi kusorongkan mulutku ke arah memeknya dan mulai menjilat, menyedot bahkan menggigit-gigit kecil bukit mini itu dari balik celana hotpantsnya.

“Papah! Aagggghhttthtt…” Lastri bereaksi spontan saat mulutku mendarat di permukaan memeknya dari luar celana. Spontan pula semburan cairan panas melanda mulutku. Luapan cairan orgasme ataukah squirt? Aku tidak peduli, semakin membanjir itu memek, semakin keras aku menyedot. Lastri tersengal, mengejang dan menggelepar-gelepar menghadapi gempuranku. Entah berapa kali anak 17 tahun itu sudah orgasme dari awal ciuman kami.

Tanganku menggenggam kolor hotpantsnya, pelan-pelan kutarik celana itu ke bawah. Lastri membantu dengan sedikit mengangkat dan mengejang-ngejangkan pinggulnya. Tak lama kemudian barang itu terpapar di depanku.

Tak kusangka, vaginanya begitu merah-muda, dengan rambut yang masih sangat jarang-jarang. Sisi luar bibir vaginanya terbelah dengan sempurna dan menonjol dengan cantik. Elegan namun imut. Klitorisnya berwarna sedikit lebih cerah dari daerah labia minora atau bibir vagina-nya. Dengan gemetar kusibakkan bibir vagina itu dengan jempol kananku. Lorong itu terlihat berkerut-kerut eksotis, setiap lekukan mengkilat dilapisi cairan yang seakan tidak pernah kering. Perlahan kuelus clitorisnya dan terpampang pemandangan yang membuat darahku berdesir sampai ke kepala. Memeknya mengedut dengan sentakan-sentakan spontan. Memeknya… Empot Ayam!

Kepala Lastri masih tergolek lemas ke samping seakan masih menikmati orgasme yang baru saja diberikan oleh permainan mulut dan lidahku dari luar celananya. Tanpa dia sadari, aku sudah melepaskan celanaku dan mengarahkan penis tegangku ke lobang vaginanya. Sebenernya aku masih pengin mengenyot barang itu, tetapi kedutan tadi membuatku tidak kuat menahan lebih lama lagi untuk menusuk dan menjelajah relung yang sudah menganga pasrah di hadapanku ini. Aku mulai menggesek-gesekkan kepala penisku ke permukaan bibir memeknya. Lastri masih tergolek sambil terpejam, walau memeknya bereaksi dengan mengirim kedutan-kedutan erotis yang membuatku semain gila. Lalu…

BBBBLLLLESSS…!!! Pelan tapi pasti, lobang itu akhirnya aku tembus…

“Aaaaagggghhhhhh! Paaaaapaaaaah!” erangnya panjang sambil berusaha menarik kepalanya ke atas untuk melihat memeknya yang mulai tertembus rudalku… sekilas kulihat matanya nanar melotot, menandangku panik saat merasakan kontolku menyeruak lorong memeknya. 
Masuk... masuk… mili demi mili, lebih dalam… dan semakin dalam…

Terlambat Lastri!! semua sudah terlambat kini… papa brengsekmu ini tidak dapat menahan gejolak libidonya lagi…

Tiba-tiba…
JDUK! Eh?

“Mentok?!” tanyaku di dalam batin. Lalu…

SLUPT… SLUPT… PTETTT… PTETTT… SLEPT… SLEPT…!!! Memeknya bereaksi terhadap benda asing… empot ayam itu secara reflek memeras penisku yang baru ¾ masuk ke lorong memeknya.

Memek yang cetek, empot ayam serta becek banget… Kombinasi aneh tapi luaaar biasa nikmatt…

Dan aku pun mulai memompa!

Kugenjot dia dengan ritme pelan, aku mulai dengan RPM rendah, pinggulku dengan telaten kugerakkan maju mundur, berputar dan kuselingi gerakan gerakan zig-zag secara ritmik. Lastri sudah tidak sanggup lagi menatapku, matanya kini membalik ke atas bersamaan dengan lenguhan dan goyangan kepalanya mengikuti ritme goyanganku. Tangannya menarik-narik sprei dengan kuat, dia mendesah, melenguh dan meracau. Aku tingkatkan RPM goyanganku. Dia mendelik, lenguhannya semakin keras. Memeknya tak henti-henti menyemburkan lendir putih licinnya. Rasa licin, panas disertai emputan ayam dan pentokan dinding rahimnya di ujung penisku membuatku serasa melayang. Terbang!

Kuraih pinggulnya dengan kedua tangan untuk memaksimalkan efek goyangan pinggulku. Masih dalam posisi MOT, aku menghujamnya dengan telaten dan variatif. Suatu waktu aku bergerak secara konvensional, maju-mundur, di kombinasi dengan gerakan memutar dan memilin, di lain waktu kugerakkan pinggulku dengan arah ke atas ke bawah seperti mencungkil-cungkil. Sesekali waktu, aku memberinya kesempatan bernafas dengan menghentikan sebentar gocekan pinggulku, tempo itu aku gunakan untuk kembali mencecap putingnya yang semakin menantang itu.

Kepala Lastri yang tergolek ke samping aku tegakkan, sehingga sekarang dia terlentang dengan sempurna, penisku masih dengan nyaman bersarang di relung vaginanya. Dengan gaya kodok, aku masih menelungkupi tubuh mungilnya, tapi tidak langsung menindihnya. Kuelus kembali rambut ikalnya, kusingkirkan beberapa helai yang jatuh dan lengket di wajahnya karena keringat. Matanya sayu membuka, sambil berusaha mengatur nafas dia tersenyum. Lastri mengangkat sedikit kepalanya sambil membuka bibirnya. Isyarat minta cium.

Dan kami kembali ber French kiss. Dalam dan intim…

Persetubuhan ini memang aku bikin se-relax mungkin, di dalam pikiran jahatku, aku ingin menanamkan kesan yang dalam di benak Lastri, agar prosesi seperti ini bisa berlangsung secara kontinyu. Damn! Sebut aku banjingan, tetapi kalau kalian tidak memungkirinya, hal itu juga yang ada di benak kalian kan?

Cplup…!! Bibir kami terlepas dari FK yang dalam.

Dan aku mulai mengayuh lagi, aku mulai dengan RPM rendah lagi, hanya kali ini aku variasikan dengan hentakan-hentakan kuat sesekali tempo. Vagina Lastri mulai bereaksi kembali, walau pinggulnya masih pasif, mungkin karena lemas, tetapi relung vaginanya benar-benar aktif, mengempot dan memilin penisku yang menjelajahinya.

“Aaaaaa… AAGHH!!! AGGHH!!! AGGHH!!! AGGHH!!!” Lastri mendesah seiring tempo hentakanku. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama, toh tidak ada yang mengharuskan kita terburu-buru. Tapi kelihatannya sudah waktunya menyelesaikan ronde satu, lagipula, aku sudah tidak menghitung lagi berapa kali tadi vagina kecil itu sudah menyemburkan cairan orgasmenya. Kupercepat RPM. Menengah! Dan Tinggi!!

Aku menyentak-nyentak kuat. CPLOK! CPLOK! CPLOK! CPLOK! Suara testisku terdengar kencang waktu menampar-nampar pantat kecilnya seiring genjotanku.

“AAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH…” desahan Lastri berubah menjadi lengkingan panjang.

Dan kayuhanku semakin kupercepat… CPAK!! CPAK!! CPAK!! CPAK!!

“ARRGGHHH!!!” aku mengeram saat puncak itu berhasil kudaki. Kuhujamkan dalam-dalam penisku ke relung vagina Lastri. Spermaku kumuntahkan semuanya di sana. Aku mengerang lagi saat merasakan guyuran cairan panas disekujur penisku. Dan aku melejang-lejang lagi. Nafasku memburu. Kemudian aku limbung, terjatuh tertelungkup di atas tubuh Lastri. Nafasnya tak kalah tersengal.

Perlahan aku geser tubuhku ke samping, memberinya kesempatan untuk menghirup udara. Kupandang wajahnya, Lastri masih memejamkan matanya, berusaha mengatur nafas. Beberapa saat kemudian, dia menoleh ke arahku. Aku sengaja belum bekata-kata, kubelai wajahnya dan kembali kutatap matanya. Bibirnya mendekat dan kita berciuman kembali. Singkat namun dalam. Kami berpelukan.

“Pah, boleh Lastri bilang kalau Lastri say… eh, nggak jadi ding…” Lastri tidak menyelesaikan kalimatnya, dia hanya langsung menyusupkan kepalanya ke dalam pelukanku.

Aku tersenyum, ayolah, masa aku tidak bisa menebak sih lanjutan kalimatnya? Tapi aku sengaja tidak menanggapinya secara verbal, aku hanya menarik wajahnya dan mengecup keningnya. Lastri menunduk lagi dan mempererat pelukannya, dan kami berpelukan kembali dalam kebisuan. Dibenakku terpikirkan hal-hal yang entah akan dapat aku sampaikan dalam bentuk kata-kata atau tidak di dalam kehidupan ini. Hal seperti: Las, aku juga…

Ini gila! Masa aku falling sih? GILAAAA!!!

Aku falling in love?? Kalimat itu masih terus menjerit-jerit di batinku, dan yang paling menyiksaku adalah kenyataan bahwa aku memang menyayanginya entah dalam konteks apa, aku sendiri juga masih bingung. Dan yang barusan terjadi, apa itu dia anggap sebagai ekpresi sayang, atau perwujudan dari nafsu bejad majikannya? Kalau yang barusan adalah pemerkosaan, kenapa dia malah hampir mengungkapkan perasaannya kepadaku? Apa memang bener kata-kata Rika? Apa aku memang semenarik itu? Ah, jangan GR lah, bajingan sepertiku seharusnya sudah tidak pantas untuk terlihat menarik di hadapan wanita manapun… Dan aku semakin dalam tenggelam dalam lamunanku.

Nafas Lastri mulai teratur, dinginnya AC di kamarnya mengeringkan keringat kami dengan cepat. Dan sejuknya seakan membius tubuh lelah kami. Tak seberapa lama, aku sudah mendengar desisan halus nafas Lastri. Rupanya Lastri sudah tertidur. Ndablek juga cewek satu ini! Padahal… Ahh…

Dan aku mempererat pelukanku.

Hangat…
***

Epilog
Saat ini Lastri ada di sebuah kota di luar propinsi yang kami tinggali, menyelesaikan kuliah manajemennya. Dengan biaya kami tentunya. Dia cukup dapat mengikuti mata kuliahnya walau masuk dengan ijazah SMA persamaan, dan kami semua bangga dengannya. Aku hanya sekali itu melakukan hubungan intim dengannya, karena itulah bisa dibilang hubungan kami malah jauh semakin akrab tapi sejauh ini juga tidak ada diantara kami yang menyatakan perasaan. Kadang, kalau ada kesempatan kami hanya berpelukan, Lastri sering minta peluk, katanya pelukanku hangat dan nyaman. Kami saling menghormati sebagai dua individu dewasa.

Aku mencintai istriku, Lastri tahu itu, tetapi aku juga mencintai Lastri, dan aku kira Lastri juga tahu itu. Walau kata-kata cinta tak pernah terlontar secara verbal dari mulutku. Setiap kutanyakan apa dia sudah punya pacar, Lastri hanya bilang dia sudah memiliki seseorang yang sangat berarti. Tapi aku tidak berani otomatis mengasumsikan orang itu adalah aku. Aku selalu menganggap cintaku bertepuk sebelah tangan kepadanya. Dan itu aku kira bagus. Menjagaku untuk tidak bertindak nekad dan melamarnya. Wedew, parah kalo itu sampe terjadi!

Hubunganku dengan istriku pun sejauh ini baik-baik saja, membaik bahkan.
Komunikasi kami juga semakin intens. Everything is fine between us.

Mbak Yun akhirnya menikah lagi, dan sekarang sedang hamil anak ke tiganya dari suaminya yang kedua. Semenjak dia kembali ke kampung, balik lagi ke kotaku, bekerja di sana sampai dia menikah lagi, terhitung hanya beberapa kali kami melakukan persetubuhan, tanpa komitmen dan hanya untuk penyaluran kebutuhan, kami berdua sudah dewasa dan kami menyadari benar pentingnya pemenuhan kebutuhan sexual itu. 
Lalu kami memutuskan untuk mengakhirinya, demi masa depan kami sendiri.

Rika?
Si ahli manipulasi itu sampai sekarang belum banyak berubah, baik wajahnya, lekuk tubuhnya, maupun kelakuannya. Bulan lalu aku menuruti keinginannya, membelikannya sebuah mobil Toyota Yaris, aku beliin second sih tapi dia sudah OK kok dengan itu. Kenapa aku sampai bela belain beliin dia mobil? Ya karena dia adikku, walau adik ipar tepatnya. Tapi aku menyayanginya seperti adik kandungku sendiri.

Obat Pembesar Penis