BAB 4 - TETANGGAKU DIAN DAN ISTI
Aku mulai membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat montok. Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke empat bulan, mulai kelihatan perutnya membuncit.
Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah seperti rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini. Posisinya juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan. Identitasku sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami membayar beberapa orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan identitasku. Dan sekarang aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil dalam membagi jatah.
Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda sekarang lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka sepakat untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa menyusul mereka.
"Rumah jadi sepi ya, Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka masing-masing," kata bunda.
"Ini kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung ngurus cucu-cucunya, bunda," kataku.
Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh, aku bisa melihatnya sendiri. Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda. Karena aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.
"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.
"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang dulu pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan bumi," jawabku. "Aku menyesal sekali."
"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia," kata bunda. "Lebih muda dikit."
"Iya," kataku singkat.
"Tapi jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini. Kau sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu, bunda yakin karena bunda ini juga wanita," kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir engkau pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan menerimamu apa adanya."
"Bagaimana bunda bisa yakin?" tanyaku.
"Sebab, Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian berhubungan wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda muda, tapi ia masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta sejatinya," kata bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai sekarang walaupun sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu pada dirimu. Bunda makin cinta kepadamu."
Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium bibirnya. "Bunda tahu, apapun yang bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni," kataku.
"Kamu sudah kepingin?" tanyanya.
"Kalau melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.
Kami berpagutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap. Aku membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda menarik T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.
"Isep dong, bunda," kataku.
Aku berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap penisku. Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi, tangan kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap perutku, lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan mengocoknya lembut.
"Ohhh... bunda... hhmmhhh..."
Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada Kak Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan ia jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu yang ada pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku pernah bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama Anisa. Dan boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu, tapi tidak sampai hamil.
Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil diriku, akhirnya ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai menyayangiku seperti anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan secara tak disangka aku sangat mirip ayahku.
Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah di rahim bunda. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe penisku ngilu. Maka dari itulah, sebentar saja bunda mengoralku. Aku sekarang sudah menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat putingnya hingga mengeras. Bunda mengeluh. Kuhisap pula klitorisnya, kumainkan dan kugigit gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali ia berusaha mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda pun orgasme hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut dari tempatnya.
"Don... kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget," katanya.
Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung kumasukkan sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat. Saat itulah aku menggoyang tubuhnya, kubenamkan sedalam-dalamnya otongku hingga mentok. Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel dan aku menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi kenikmatan menjalar di selakangan kami.
"Don, enak... bunda keenakan... terusss... ssshhh... aahhh... hhmmmhh," katanya.
Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya hingga dia kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan ia menatap mataku. Mulutnya membentuk huruf O.
"Bunda... ohhh... mau keluar..." katanya.
"Bunda keluar? keluar aja, bunda," kataku. "Papah masih belum."
Bunda pun mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu hingga bunda merasakan rileks sejenak dan pegangannya melemah.
Kubalikkan tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan penisku ke vaginanya dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia masih mengeluh ah dan uh... saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju mundurkan pantatnya. Rongga kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku, membuatku terbuai oleh ekstasi persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok memberikan sensasi tersendiri kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali menghantam bibir vaginanya karena aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka dari ketiga keluargaku adalah vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku. Bunda juga demikian. Aku meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali kuremas juga bongkahan pantatnya yang bahenol itu.
Puas dengan doggy style, aku lalu berbaring. Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah sangat becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah lelah, ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku pelan-pelan menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku, rasanya kepala penisku geli sekali.
"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.
"Ini mau keluar, bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat, bunda," kataku.
"Ohh... papah, keluarkan pejuh papa yang banyak yah... buahin, bunda," katanya.
Pantatku kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan sperma. Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku erat sekali, dan kami pun orgasme bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam penisku dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental membasahi rahimnya.
"Ohh... bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak... enak banget," katanya.
Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan penisku di dalam kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di sofa. Kelelahan. Sungguh senggama yang hebat.
Hari itu kami tak pernah habiskan waktu dengan sia-sia. Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami istirahat hanya untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat hari yang tidak sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir tiap waktu kami hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.
***
Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang dengan buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang pembantu yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku sendiri namanya Dian.
Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu kalau aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke Nur. Nur hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya, tapi sebenarnya bukan itu sih.
Satu atau dua kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku kepingin juga ngentotin Dian. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini kebetulan saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.
Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi. Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi jarang ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang. Mereka jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.
Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda. Ronda ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada jadwal, boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah kami, ada di ujung jalan.
"Mah, papah mau ikutan ronda," kataku.
"Lho, emang jadwalnya?" tanya Nur.
"Hehehe, nggak sih. Kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya sekalian saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku.
Aku lalu melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah tingkahku yang bercanda dengan anakku.
"Udah ah, pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata Nur.
"Papah gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku. "Apa sih, sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa lagi."
Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat sana!" Ia mengusap-usap pipiku.
"Agak nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.
"Kalau ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur sedikit ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."
Aku lalu bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu." Aku mengusap kepalanya.
"Pah, mamah cinta kamu," kata Nur.
"Papah juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik. Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru menyingkir.
Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan beberapa orang bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda. Di perumahan ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif seperti ini. Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol ngalor-ngidul sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget, padahal aku lupa bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung.
"Awas, pak Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya dingin banget," kata salah satu bapak-bapak.
"Kayaknya sih begitu," candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang lain.
"Maklum, pak, penganten baru ya seperti itu," sahut yang lain.
Aku pun segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam. Ndak ada satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di rumah. Namun tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter dan menerangi sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati.
"Kenapa, mbak?" tanyaku.
"Ini, mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya.
Ini mungkin kesempatannya, pikirku. Agak tak jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap. "Boleh saya bantu?" tanyaku.
Ia diam sejenak. Mungkin berpikir panjang karena aku bukan suaminya. Tapi kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya aku betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya sangat menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering di dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.
"Makasih ya, mas, malah merepotkan," katanya.
"Oh tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut saklar tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah film apa itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja aku menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?
Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu masuk ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil nonton film itu kemudian lampunya mati.
Tak berapa lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya malu sekali. "Yang tadi maaf ya, mas."
"Tidak mengapa, aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.
"Maklum, Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan kalau sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.
"Tadi sudah tuntas belum?" candaku.
Dian bingung menjawab, lalu ia menggeleng.
"Trus kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.
Ia mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini kesempatan bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan memeluknya, ia kaget dan menatap wajahku.
"Mas, jangan, mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.
"Kamu mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."
"Tapi mas, a-a-aku..." ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, tapi lama kelamaan ia memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat ahli dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra, aku bisa merasakan putingnya mengeras.
Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas dan menciumi dadaku yang bidang. Ia mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku hingga ke perut, lalu ia buka celanaku. Burungku langsung melompat keluar saat ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia berhenti sejenak.
"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget. Aku sudah horni banget, mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum dan disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali.
Tidak butuh waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah tak memakai baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang mengamatinya. Ia bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin melayang. Setelah aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan oralnya. Ia menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan kalau dadanya ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit dengan puting yang sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.
"Ohh... mas... puasin aku, mas," katanya.
"Ohhh... mass... baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana," katanya.
Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu. Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya. Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu bibir memeknya yang berwarna pink kecoklatan.
"Ahhkk... enak, mas, enak... ahhkk... terus..!!" katanya.
Kuhisap dan kuemuti bibir memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku mengusap-usap klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus mendesis.
"Udah, mas, udah... Dian mau keluar... mau keluar... jangan digituin... geli... geli, mas... udahh... aduuuuhh.... pipis deh... mas nakaaal... memek dian basah deh... aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak.
"Udah, mas, udah... Dian mau keluar... mau keluar... jangan digituin... geli... geli, mas... udahh... aduuuuhh.... pipis deh... mas nakaaal... memek dian basah deh... aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak.
Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya maju mundur sendiri. Ia seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir bawahnya digigit dan tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku sekarang.
Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur posisi. Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga ia seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk begitu saja. Tapi...ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti merobek sesuatu. BRETT...!!
Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia melingkarkan tangannya ke leherku. "Mass... perih..." katanya.
"Lho, kamu masih gadis?" tanyaku.
"Tidaklah, mas, sudah dipake koq," jawabnya.
"Lha trus ini?" tanyaku.
"Aku tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga kaget lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.
Mungkinkah penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini rejeki yang langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik, tekan. Biar ia tak terlalu sakit dulu.
"Yang cepat aja, mas, ndak apa-apa!" kata Dian.
Aku pun mengikutinya. Kupompa agak cepat. Dian pun bereaksi. Ia mengeluh, menggelinjang. Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali aku menghisapnya. Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa nikmat. Memeknya benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti vakum. Sepertinya Dian ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini membuatku makin kepingin cepat keluar saja.
"Dian... keluar nih," kataku.
"He-eh, mas, keluarin aja... barengan yuk," katanya.
"Ohh... Dian... kamu sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu terus... keluar... kkellluuuaaarr!!" aku menjerit.
Dian pun menjerit, "Maasss... aaahhkk!"
Spermaku pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga kemudian ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh. Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak darah. Ia beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis suaminya sampai ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??
Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya. Tampak wajah kepuasan terpancar dari wajahnya.
"Mas, makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya tissue lalu dibersihkannya noda itu.
"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.
Ia kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah pacaran lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil. Meskipun kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin mereka lewati seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika penis suaminya masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita kalau malam pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya seperti apa Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah
itu ia terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku rasanya perih banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang tidak pernah merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis suaminya aku pun terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil.
Dian memang heran karena ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis besar. Awalnya ia tak protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama bule berbeda. Tapi ia baru sadar ketika melihat penisku, ternyata punya suaminya jauh lebih kecil. Ia pun bercerita karena suaminya jarang di rumah ia seperti jablay.
"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis suamimu gedhe?" tanyaku.
"Orangnya kolot, mas, ia biasa-biasa saja punya penis sebesar itu. Seperti ndak ada beban," katanya. Dian kemudian memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan ama punyamu, mas, gimana nih?" Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri lagi.
"Kalau mau, tiap ada kesempatan boleh koq," jawabku.
"Maaf ya, mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh..." ia mencium penisku.
"Enak, mas, kalau diginikan?" tanyanya.
Aku yang bersandar di sofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan SLEEB....!!
"Aww... aww... mass... ohh..." keluhnya.
Pantat Dian naik turun memompa penisku. Aku tahu pada posisi ini wanita lebih cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa memberikan kepuasan kepadanya. Buah dadanya naik turun, kadang-kadang menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas sehingga memencet dan menghisap puting susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan dan makin beringas. Tak hanya naik turun, ia juga memutar-mutar pantatnya.
"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh... udah mau keluar lagi... aahhhhkk," Dian menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia memelukku erat seperti orgasmenya tadi.
Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Kubimbing Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan. Aku berdiri dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan tingginya. Lalu kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia mengeluh dan menengadahkan kepalanya.
Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas toketnya yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah awut-awutan. Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu terdorong karena hentakanku.
"Mas, mentok, mas... penis mas kerasa penuh," katanya.
"Memekmu juga, rasanya enak," kataku.
"Aduhhh... enak, mas... ahhh... ohh..."
Aku percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu dengan selakanganku. Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang luar biasa.
"Mas... Dian mau keluar lagi," katanya. "Aduuh... enak, mas... masss... udah, mas... Dian ndak kuat... Dian... keluar lagi."
Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih... mau keluar lagi."
Aku lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin lama makin cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas. Ia mendongak dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia sudah orgasme. Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar begitu saja ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang terbentuk ketika kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku sisa-sisanya masih menetes dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.
"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.
Aku melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta. "Boleh nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku.
Ia mengiyakan. Aku lalu membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam kalau balik ke pos ronda. Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah berpakaian dan membersikan sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga menyemprotkan wewangian biar ndak ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di situ.
"Udah ya, mau balik," kataku. "Ntar bapak-bapak curiga malahan."
"Iya, mas. Makasih ya," katanya. "Kalau boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan sampai mas Joko tahu."
"Iya deh, bisa diatur," kataku. Aku pun mencium bibirnya sebelum keluar rumahnya.
Setelah itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar.
"Koq udah pulang mas?" tanya Nur tak curiga.
"Ngambil jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.
"Ohh... ya udah," katanya.
Sekembalinya ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi. "Nah iya kan, lama banget baliknya."
Kami pun akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di kamar aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya Dian sudah ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada sesuatu yang aneh.
Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini kita memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku biarkan saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya kepala penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian dijilatlah dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi. Setelah itu dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari
nafas hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak mungkin melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah melakukan deep throat kecuali.....
Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku. "Dian?" aku terkejut.
"Udah bangun mas? Enak ndak?" tanyanya.
"I-iya, Nur dimana?" tanyaku.
"Dia sedang ke puskesmas, imunisasi katanya. Takut bangunin mas jadi dia pergi sendiri," katanya.
"Lha trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.
"Nggaklah, mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya sambil mengocok penisku.
"Tapi..."
"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.
Ia lalu membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung bebas. Ia lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh bukit kembarnya. Ouuhh...nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap dan menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.
"Dian, udah aku mau keluar... ooouuuhhhh....!!" aku menjerit tertahan. Dian malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah semuanya di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini.
Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku di dadanya. Kemudian ia menghisap penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya. Penisku ngilu banget.
"Udah ya, hihihi," ia cekikikan lalu meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.
***
Sebenarnya hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan aku tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih berhubungan seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Tapi aku mengakui kalau permainanku dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan saja. Dian juga tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati istriku.
"Mas, aku hamil," kata Dian pada suatu hari.
"Hah? Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"
"Dia seneng banget, tapi aku jamin koq ini anak mas," katanya.
"Koq kamu bisa yakin?" tanyaku.
"Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget. Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam hati aku ketawa."
Kami berdua tertawa. "Trus gimana dong?" tanyaku.
"Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku," jawab Dian.
"Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.
"Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil ketawa. "Tapi biasanya anak mirip ibunya koq, kalau mirip ayahnya ya... ndak tau juga."
"Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.
"Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya.
Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun kekuranganku."
Dian tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau. Soalnya ia sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela koq. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari suamiku. Masa' mas terus yang ngasih benih."
Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
"Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please," rayunya.
"Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.
"Oh iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya. "Istrinya berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku."
"Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian koq," kataku.
"Mumpung Nur masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk, mas, terus terang aku sudah horni banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar banget.
"Ohh... mass... enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan aku!" katanya.
"Tidak bakal Dian, ohh... enak banget memekmu," kataku.
"Kontol mas, enak banget, gurih... aahh... memekku penuh rasanya," racaunya.
Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian melihat Nur sampai di pagar.
"Mas, ada mbak Nur!" bisiknya.
Aku percepat goyanganku.
"Udah, mas, udah...! Ntar ketahuan!" bisik Dian.
Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian. "Dikit lagi aku keluar. Ohhh... Diann... hhhmmmhhh,"
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku menghujam beberapa kali. Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.
Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan.
Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu lagi. Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.
Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."
Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya.
Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah kecil."
"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.
"Iya deh, mas. Kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya, bund?" kak Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.
"Bunda masih kuat koq, masa' sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.
"Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.
"Trus, rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.
"Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.
"Iya deh, pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"
"Di sebelah mana?" tanyaku.
"Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.
"Iya, iya, nanti aku cek," kataku.
"Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila karena gemes.
Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.
"Cowok, bu," jawabku.
"Waahh... selamat ya, namanya siapa?" tanyanya.
"Zahir Putra Pratama," jawabku.
"Alhamdulillah kalau begitu," katanya. "Mau renovasi, mas? Koq ada tukang segala?"
"Iya, atap bocor," tukasku.
"Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.
"Iya, sementara tinggal di sana dulu," jawabku.
Aku pun kemudian ngobrol-ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor. Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari dan aku belum makan siang.
Bu Isti menyapaku lagi, "Udah makan siang belum, mas? Nih buat tukangnya." Ia membawa nampan berisi gorengan dan kopi.
"Waduh, bu, merepotkan saja," kataku.
"Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masa' ndak dikasih minum?" tanyanya.
"Itu udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong kue.
"Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.
"Gimana ya?" aku agak ndak enak.
"Nggak apa-apa," katanya.
Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah. Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan kami. Aku pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk. Anaknya tampak sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek namanya Luna. Melihatku masuk ia tampak senang sekali.
"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.
"Ya... boleh-boleh aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di rumahku.
"Hush, ndak boleh seperti itu," kata Bu Isti.
"Ibu, kan om bolehin," katanya.
"Iya koq boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus," kataku. "Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."
Ia setuju.
Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.
Malamnya Luna main ke rumahku. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk pulang.
Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan saja. Saat itu Bu Isti datang ke rumahku. Untuk mengajak Luna pulang.
"Udah tidur, bu," kataku.
"Waduh, trus bagaimana, mas?" tanyanya.
"Biarin aja tidur di sini, sudah saya selimuti koq," kataku.
"Maaf kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya, mas?"
Aku mengangguk.
Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras.
"Belum bangun juga, mas?" tanya Bu Isti.
"Belum, bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku menawarkan.
Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak, mas."
"Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini koq," kataku. "Kalau mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Saya juga ndak enak kalau bangunin Luna."
"Ya udah deh, makasih tawarannya," katanya. Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
Awalnya aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia. "Bu Isti tidur di kamarku saja, saya mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.
"Ndak, mas, saya tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.
"Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit saya yang bingung," kataku.
Bu Isti kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh, mas, gini aja kita tidur seranjang tapi jangan berdempetan ya?"
"Wah, nanti bisa berabe bu, takut saya," kataku.
"Saya juga bingung, soalnya kebiasaan saya biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian di rumah, gimana ya?" Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir keras. Hingga akhirnya. "Ya udah deh, kita tidur seranjang. Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, saya tak tanggung jawab lho ya?"
"Emangnya kelewat batas seperti apa, mas?" katanya sambil tersenyum.
"Ya, ibu tahu sendiri lah," jawabku.
Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu tahu koq. Mas Doni ini paling setia sama istrinya."
Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang ada di kamar.
Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling membelakangi lagi.
"Maaf, mas," katanya.
"Maafkan saya juga, Bu, ndak sengaja," kataku.
"Saya juga," katanya.
Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku menggigil.
"Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.
"Saya ndak punya AC, bu, ini memang hawanya dingin," kataku.
Kami terdiam lagi.
"Mas ndak punya selimut lagi?" tanyanya.
"Tidak, bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.
Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
"Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf," katanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang. CESSSS... rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti juga berdebar-debar.
"Saya punya sarung, bu, buat ibu kalau mau," kataku.
Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya. "Tapi buat mas apa?" tanyanya.
"Saya ndak apa-apa," jawabku.
"Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya. "Maklum kita kan ada di kota M, makanya dingin, apalagi ini pegunungan."
Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.
"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.
"Maaf, bu, saya juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.
"Iya, saya tahu. Keras banget tapi," katanya. "Mas Doni sering main sama istrinya?"
"I-iya, kenapa, bu?"
"Pantes saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.
Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang menciuminya. "Bu Isti, maaf, tapi saya ndak tahan lagi bu. Saya kepengen bisa menjinakkan senjata saya ini. Udah kepingin," kataku.
"Saya ngerti koq mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya, mas?"
Kami berpagutan, panas sekali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpagutan dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.
"Saya sudah becek dari tadi, mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu Isti. "ohh... masss... puasin ibu... ibu sudah lama ndak begituan sama suami."
Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.
"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya. Mungkin juga karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi.
"Sama, bu, enak banget," kataku.
Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpagutan lagi. Setelah itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.
Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara. Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku, tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga.
Sesaat kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.
Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta sampai 5 ronde malam itu.
Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.
"Sudah pagi, mas, makasih ya semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang."
Kemudian kami berpisah dengan pagutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena Luna harus sekolah hari ini.
BERSAMBUNG