Di sebuah rumah sederhana di daerah pinggiran Kotamadya Bandung…
“Maaf ya, Farah, bukannya kami tidak mau menerima hasil karyamu. Karyamu selalu bagus, kok. Tapi mengertilah, kami sedang dalam kesulitan keuangan. Kami memutuskan untuk sementara memproduksi novel-novel remaja yang bertemakan kisah cinta yang lebih laris di pasaran. Mungkin suatu saat kami akan menerbitkan novelmu, harap bersabarlah. Ditunggu saja ya, pasti akan datang kesempatan.” demikian suara lelaki di ujung telepon yang terdengar agak kurang sabar itu.
“Iya kok, pak. Saya mengerti, terima kasih lho sebelumnya atas perhatian Bapak. Assalamualaikum,” terdengar suara perempuan merdu namun terasa memelas.
Pembicaraan telepon pun terputus. Farah Wulandari kini hanya bisa termenung memandangi taman belakang rumahnya yang sederhana. Sudah beberapa bulan ini novel-novel islami karyanya tidak ada yang diterima oleh penerbit. Macam-macam saja alasan yang dikemukakan penerbit, tapi ia sadar kalau ia harus tetap sabar dan tidak boleh bahkan tak ada gunanya untuk memaksakan kehendaknya.
Farah adalah sosok seorang akhwat pendiam dengan sebuah kacamata minus tergantung di atas hidungnya. Di usianya yang menginjak 24 tahun, Farah tampak lebih dewasa, baik dari segi fisik maupun mental. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang berdedikasi dan penuh semangat. Sebenarnya ia memiliki wajah yang begitu mempesona, mirip sekali dengan kakaknya yang sudah dinikahi Ustadz Mamat. Hidungnya begitu bangir mancung, pipinya ranum, bibirnya merah merona, kulitnya putih mulus dan terawat, rambutnya yang panjang hingga punggung selalu tertutup jilbab panjang dan jubah. Akibat wajahnya yang cantik serta sifatnya yang anggun, tenang dan tampak begitu alim, banyak ikhwan-ikhwan pengajian yang jatuh hati padanya. Namun semuanya ia tolak karena ia berniat ingin membahagiakan orang tuanya terlebih dahulu sebelum memasuki pernikahan.
“Siapa itu tadi yang bicara di telepon, Farah, apakah ada urusan penting?” suara lembut Siti Nurhana, ibundanya, membangunkan Farah dari lamunannya.
“Hmm, dari penerbit, ummi. Katanya novel Farah belum bisa masuk cetak,” jawab Farah disertai dengan helaan nafas lembut dan cukup panjang.
“Ya sudah sabar saja, nanti juga kalau sudah jalannya kamu pasti dapat. Ummi mau ke rumah sakit dulu ya, nemenin Abi. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?” demikian lanjut Siti Nurhana sambil berkemas-kemas untuk berangkat.
“Nggak apa-apa koq, ummi, salam dari Farah yah sama Abi, semoga lekas sembuh dan dapat pulang kembali ke rumah,” sahut Farah sambil masuk ke kamar.
Kini tinggallah Farah sendirian di rumah. Sudah sekitar lima bulan Pak Arief Ubaidillah terbaring di rumah sakit setelah terkena stroke. Selama itu pula ayah empat putri itu tidak sadarkan diri di bangsal rumah sakit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan nafkah rumah tangga. Dan kini Farah sedang bingung harus kemana ia mencari uang untuk membayar hutang-hutang yang telah menumpuk akibat memenuhi biaya berobat ayahnya. Di rumah hanya ada Farah dan Asma, yang masih SMA, dan ibundanya. Farah pun sadar ia tak bisa meminta Nurul yang sedang kuliah di Jakarta untuk membantu, karena ia kuliah gratis dengan beasiswa yang diterimanya. Posisi Aida yang telah berkeluarga seharusnya bisa membantu, namun apa mau dikata, kondisi keuangan rumah tangga Ustadz Mamat pun tak begitu baik.
Farah sadar, hanya ia satu-satunya yang mampu mengatasi keadaan keuangan yang sama sekali tidak menggembirakan itu.
Ketika ayahnya mulai masuk rumah sakit 5 bulan yang lalu, untuk menalangi biaya rumah sakit, Farah sekeluarga terpaksa meminjam uang pada Mang Burhan, seorang rentenir kelas kakap di kampung tersebut. Walaupun bunga yang ia ajukan terlalu tinggi, namun hanya Mang Burhan-lah pada waktu itu yang siap dan mampu menyediakan uang dalam jumlah besar untuk biaya operasi ayah Farah.
Namun masalahnya batas waktu pengembalian uang tersebut hanya tinggal dua hari lagi. Oleh sebab itu Farah merasa begitu kecewa setelah tak ada satupun penerbit yang mau menerbitkan novel karyanya. Uang hasil jualan kue Farah dan ibunya pun hanya cukup memenuhi makan mereka sehari-hari, bagaimana dapat untuk membayar hutang. Berbagai macam pikiran memenuhi otak Farah sehingga membuat akhwat manis itu tampak muram. Karena tiada jalan lain ditemukan, ia pun bertekad untuk menemui Mang Burhan dan bernegosiasi dengannya. Ia akan bersedia bekerja melakukan apa saja demi menunjang keluarga yang dicintainya.
***
Sebagai rentenir kelas kakap di daerah kampung situ juga, pak Burhan sangat disegani karena tabiatnya yang keras dan penampilan yang terlihat cukup menyeramkan. Wajahnya hampir tidak pernah menunjukkan keramah-tamahan, jarang sekali tersenyum apalagi tertawa. Matanya selalu menatap setiap orang yang diajak bicara dengan sangat tajam seolah ingin menembus benak pikiran lawan bicaranya. Disamping itu lirikannya selalu menampilkan kesan kejam dan bahkan tersembunyi kesan sadis, terutama jika menghadapi langganan yang mempunyai hutang padanya namun belum mampu membayar kembali karena bunga yang diajukannya memang amat tinggi.
Pakaiannya terlihat cukup rapih menutupi tubuhnya yang tegap dan dibalik pakaian itu tersembunyi banyak bekas luka, karena Burhan di masa muda sangat galak sering berkelahi. Bahkan ada periode dimasa mudanya Burhan hilang lenyap dari desa kelahirannya, tak satupun yang tahu dimana dan apa yang dilakukannya. Hanya Burhan sendiri yang menyimpan rahasia itu : ia merantau sebagai anak kapal di negara jiran, dimana di samping bekerja di sebuah perkebunan, ia juga memasuki kelompok penyamun yang di malam hari merampok penduduk, terutama orang tua yang tinggal seorang diri dan janda kembang yang baru ditinggalkan suami. Bukan hanya harta yang dijadikan sasaran perampokannya, namun tak ada satupun janda kembang yang lolos dari perlecehan dan perkosaannya.
Setelah Burhan berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi yang memburunya bertahun-tahun, akhirnya ia memutuskan untuk menghilang lagi tanpa meninggalkan jejak dan muncul kembali sebagai rentenir. Tempat bermukimnya sekarang berada di pulau Jawa, sedangkan Burhan sebenarnya berasal dari pedalaman Sulawesi. Tak heran jika semua orang di kampung dan sekelilingnya tak mengetahui asal usul latar belakang Burhan.
Setahun setelah bermukim di desa ini, Burhan menikah dengan seorang janda kembang. Namun ketika melahirkan anak mereka yang pertama, terjadi komplikasi yang tak terduga sehingga keduanya meninggal. Sejak saat itu Burhan belum lagi menikah, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa jika ada langganan yang belum atau tak mampu membayar hutang kepadanya, maka Burhan selalu bersedia memberikan ‘keringanan’ dan menunda pembayaran berdasarkan ‘syarat tertentu’. Burhan akan bermurah hati jika yang datang memohon penundaan bayaran hutang itu bukan si lelaki kepala keluarga, melainkan sang istri atau anak perempuan mereka.
Semakin cantik sang istri langganannya yang memohon, maka semakin senang hati rentenir cabul ini–apalagi yang datang menggantikan permohonan si kepala keluarga adalah anak perempuan yang baru meningkat dewasa berusia belasan belum memasuki dua puluhan. Selera Burhan terhadap wanita tidak pandang bulu : entah perempuan biasa dengan gaya hidup bebas maupun yang alim shalihah berjilbab atau bahkan memakai cadar, semua dimana ada kemungkinan dan kesempatan akan dijerat dan dijadikan mangsanya. Jika belum ada lagi mangsa yang dijeratnya maka Burhan memuaskan nafsu birahinya yang besar terhadap istri-istri tetangganya, terutama yang tak cukup dipuasi oleh suami sendiri, entah karena telah uzur atau ditinggal tugas terlalu lama.
Sebagai bahan ‘jajanan’ extra, maka Burhan juga sering melecehkan pembantu rumahnya yang memang janda kembang dan cukup manis bernama Marwati atau sering disebut Wati. Karena selalu diberikan bayaran ekstra jauh melebihi pendapatan seorang pembantu, maka Wati dengan senang hati menjadi kaki tangan Burhan untuk membantu menaklukkan calon mangsanya!
Telah hampir setengah jam lamanya Farah duduk di ruang tamu menantikan kedatangan sang tuan rumah, pak Burhan yang diharapkan Farah akan bersedia untuk mendengarkan kesulitan yang sedang dihadapi oleh keluarganya. Farah telah merancang kalimat-kalimat paling bagus dan paling sopan dalam negosiasi dengan rentenir kakap di desa itu.
Kalimat-kalimat yang dipertimbangkan oleh Farah akan menggugah hati pak Burhan, terutama jika mendengar bahwa ayahnya sakit dan masih membutuhkan biaya perawatan tak sedikit, sedangkan pemasukan berupa buku agama yang dikarangnya belum lagi diterima dan dipublikasikan oleh para penerbit. Demikian pula hasil jualan ibundanya hanya pas-pasan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, sementara tulisan ustadz Mamat masih belum tahu apakah akan berhasil dijual memasuki bulan puasa ini.
Sedemikian naif-nya jalan fikiran Farah yang masih membayangkan semua orang sejujur dan sepenuh hati untuk menolong sesamanya, padahal pak Burhan bersedia menerima kedatangannya di hari itu karena mempunyai maksud lain, ada udang di balik batu yang akan menjebaknya memasuki sebuah dunia lain : dunia gelap terselubung kabut tebal dan juga lumpur mengambang menanti mangsa yang jatuh tergelincir, yang akan sukar membebaskan diri lagi dari tarikannya yang semakin dalam.
Akhirnya pintu pemisah ruang tamu dengan ruang bagian dalam rumah pak Burhan kembali dibuka, namun yang muncul bukanlah pak Burhan sendiri melainkan wanita usia pertengahan tiga puluhan yang tadi membukakan pintu masuk ketika Farah baru saja datang, seorang wanita yang masih cukup cantik dalam usianya itu, terutama disebabkan dandanan yang cukup menor.
”Pak Burhan sedang kurang enak badan, jadi beliau mohon maaf tak dapat menerima adik,” demikian ujar si wanita yang tadi memperkenalkan dirinya dengan nama Wati dan mengaku bahwa ia di rumah itu hanyalah seorang pembantu.
Farah menjadi semakin putus asa mendengar harapan kedatangannya akan sia-sia, oleh karena itu ia berusaha menekan perasaannya dan bertanya, “Sakit apa pak Burhan? Apakah mbak Wati dapat menolong memberitahukan bahwa kedatangan saya karena ada urusan penting yang tak dapat ditunda. Apakah ada kemungkinan lain untuk bertemu pak Burhan, misalnya jika beliau sedang tidur, saya bersedia menunggu,”
Di dalam kegelisahannya itu, Farah tak sempat memperhatikan sedikit perubahan di wajah licik Wati yang memang telah bersepakat dengan pak Burhan untuk menjebak mangsanya. Ujung bibir Wati menyembunyikan senyum ibarat seringai mulut buaya yang telah melihat mangsanya.
“Kalau begitu mari kita lihat bersama ke dalam, mungkin pak Burhan sudah bangun. Tadi beliau telah berpesan agar tak membangunkannya karena badannya terasa agak menggigil, tapi siapa tahu untuk mbak Farah beliau bersedia membuat perkecualian,”
Demikian pancingan Wati yang sebenarnya tak sukar untuk diduga apa maksudnya. Namun Farah yang sedang bingung memikirkan bagaimana nasib keluarganya tak berpikir panjang, hanya kepentingan keluarganya yang menjadi masalah dibenaknya saat itu.
“Kalau begitu baiklah, saya bersedia bersama ibu masuk ke dalam. Tolong ibu sampaikan bahwa saya selalu membawa balsem dan minyak kayu putih, mungkin beliau mau pakai dan siapa tahu akan sedikit meringankan sakitnya saat ini,” demikian Farah yang selalu bermanis budi.
Wati mengangguk dan lalu masuk ke dalam diikuti oleh Farah yang berusaha menabahkan hatinya.
Setelah melewati hijab pemisah ruang tamu dan ruang dalam rumah, Farah merasakan ada bisikan yang memperingatkannya agar sebaiknya balik lagi dan meninggalkan ruangan, bahkan lebih baik lagi meninggalkan tempat itu secepatnya. Namun bisikan peringatan itu sangat terlambat karena pada saat Farah ingin memutar balik diri ke ruang tamu, dirasakannya sepasang tangan yang sangat kuat dan berbulu lebat membekap mulutnya sehingga tak dapat menjerit, sedangkan satu tangan lagi menelikung kedua tangannya ke punggung dan dipelintir keras ke atas hingga terasa sangat sakit.
Akibatnya Farah menghentikan rontaannya dan kini merasakan tubuhnya disérét ke arah bagian dalam rumah itu menjauhi hijab pemisah yang tadi dilewatinya. Kekasaran lengan dan tangan yang menelikungnya menyebabkan Farah sadar bahwa yang membekapnya pasti seorang lelaki, apalagi ketika tercium bau rokok dari dengusan nafas di samping telinganya.
“Hmmpf... l-lepaskaan! Emmpfh... nggak m-mau! J-jangan!” Farah berusaha menjerit ketika merasakan tubuhnya kini diseret memasuki sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu samar-samar, namun terlihat ada ranjang cukup besar dan di sudut ada lemari pakaian.
“Sssh... jangan berontak. Percuma saja, anak manis. Bapak sudah lama dengar nama putri Ustadz Arief Ubaidillah yang pandai mengarang buku. Bapak hanya mau mesra-mesraan dengan gadis shalihah dan nanti kamu bisa ceritakan di buku kamu pengalaman dengan bapak dalam beberapa jam ini,”
Demikian suara pak Burhan yang berat dan serak disertai dengan dengusan nafasnya yang menggelitik telinga Farah. Dengan sengaja pak Burhan menghembuskan nafas panasnya ke telinga gadis itu sambil disusul dengan jilatan lidah hangatnya menyapu liang telinga Farah sehingga sang gadis jadi semakin meronta-ronta kegelian.
Tanpa berdaya untuk melawan, Farah terus didorong ke arah ranjang dan dihempaskan dalam posisi tengkurap, kemudian langsung dibalikkan sehingga telentang dengan kedua tungkainya masih tergantung di luar kasur. Farah berusaha segera bangun, namun pak Burhan yang agak gemuk dan berat sekali badannya langsung menindihnya sehingga gadis alim ini jadi tak mampu melawan.
Pak Burhan memang sangat senang menggagahi wanita alim shalihah, tapi berusaha selalu untuk membiarkan jilbab tetap selalu menutupi rambut korbannya. Mungkin itu obsesinya bahwa ia selalu bangga menaklukkan wanita alim yang di awal menolak keinginan hewaniahnya namun akhirnya akan dikalahkan keperkasaannya meskipun tetap memakai lambang ‘kesucian dan kemurnian’, yaitu jilbab yang menutupi kepala. Di dunia kriminalitas di pelbagai negara dengan mayoritas wanita berjilbab, fenomena ini bukan hal aneh, melainkan justru sering terjadi!
Farah mulai menangis terisak-isak menyesali kebodohannya bahwa ia akan mengalami aib yang sama sekali tak diharapkannya. Bukan seorang suami yang telah menikahinya setelah akad nikah ijab kabul dengan penuh kasih sayang dan pengertian akan merenggut mahkota kegadisan yang selalu dijaganya dengan penuh kesalehan. Harta tertinggi yang dimiliknya sebagai wanita muslim sebentar lagi direbut paksa oleh rentenier kelas kakap yang diharap untuk menolongnya.
Rasa ketidakberdayaan Farah semakin menjadi-jadi ketika dirasakannya ada sepasang tangan lain yang kini menarik dan merentangkan kedua pergelangan tangannya di atas kepala lalu diikat ke ujung pilar ranjang. Ternyata Wati kini telah ikut membantu majikannya untuk menaklukkan gadis malang itu–dan dengan keadaan Farah yang terentang terikat kedua tangannya di atas kepala, maka semakin mudah bagi pak Burhan untuk melanjutkan niat maksiatnya. Dengan sangat sigap karena ia memang sudah sering melakukan perbuatan tak senonoh ini, pak Burhan melepaskan jubah serta gaun panjang Farah tanpa memperdulikan makian dan rontaan korbannya.
Di balik gaun panjang itu, ternyata Farah masih memakai lapisan semacam daster tipis berwarna merah muda yang juga langsung di tarik ke bawah dan dilepaskan sekaligus dengan kaus kaki panjang berwarna kuning muda agak krem. Wati yang rupanya juga telah sering membantu membantai mangsa majikannya ikut melepaskan kaitan BH Farah sehingga tampaklah kedua gunung buah dada yang sedemikian montok dan putih dengan kulit halus licin sehingga seekor semut pun akan tergelincir jika berusaha mendaki gunung daging tersebut. Di tengah kedua buah dada sekal montok itu, mencuatlah puting yang berwarna merah muda kecoklatan, menjulang ke atas bagaikan menantang dan mengundang setiap tangan lelaki untuk menjamah dan mengelus-ngelusnya.
Semakin Farah meliuk-liukkan dan menggeliatkan tubuhnya, maka semakin terlihat goncangan-goncangan kedua gunung itu, menyebabkan pak Burhan menelan ludahnya beberapa kali dan matanya semakin beringas menatap. Dengan penuh rasa gemas dan sadis, pak Burhan meremas bergantian kedua buah dada putih mulus itu. Diciuminya dengan rakus, dicupanginya ketiak Farah serta bukit susu kebanggaannya itu, kemudian dicaploknya kedua puting yang begitu peka, lalu dipilin dan digigitinya serta dihisap-hisapnya bagaikan bayi kehausan yang ingin menyedot susu segar langsung dari sumbernya.
Setelah melepaskan BH Farah, maka Wati membantu pak Burhan untuk memegang kedua pergerangan kaki Farah yang masih berontak menendang kesana-sini. Dengan dipegangi kedua pergelangan kakinya oleh dua orang, maka dengan mudah pak Burhan kini menarik celana dalam Farah yang berwarna biru muda dan lalu membuangnya begitu saja ke lantai–sehingga gadis malang itu sempurna telanjang bulat, terkecuali jilbabnya.
Sementara Wati sekuat tenaga memegang kedua pergelangan kaki Farah, maka pak Burhan berdiri dan dengan cepat melepaskan semua pakaiannya sehingga terlihatlah tubuhnya yang agak gemuk, hitam legam dan masih cukup kekar berotot meskipun telah memasuki usia lima puluhan.
Farah memalingkan mukanya ke samping sambil menangis terisak-isak karena merasa sangat malu dengan keadaannya yang telanjang bulat di hadapan mata lelaki asing. Seumur hidupnya Farah tak pernah membayangkan akan ada lelaki yang bugil di hadapannya terkecuali suami sendiri yang akan menagih haknya di malam kemantin. Namun yang terjadi saat ini adalah lelaki asing yang bukan suami, bahkan berusia jauh lebih tua, sambil tersenyum cabul penuh nafsu iblis tanpa ada rasa segan sedikitpun memperlihatkan batang kemaluannya. Farah hanya tahu bentuk penis lelaki dari keponakannya yang memang masih kecil ketika dibantunya mandi, tak pernah ia melihat penis orang dewasa, apalagi yang telah mulai menegang mengacung ke atas.
“Ayo lihat nih senjata ampuh bapak, udah enggak sabar lagi pengen ngerasain masuk ke mémék bageur asli... pasti mémék nduk belon pernah ngerasain alat paculan lelaki ya, mmh... mémék gadis alim shalihah lagi, gimana rasanya ya?” pak Burhan kini berlutut disamping kepala gadis Farah yang meléngos itu.
Dicekalnya kepala dengan rambut ikal bergelombang namun masih terlindung jilbab itu, dan dengan sangat kasar dipencétnya hidung bangir Farah sehingga gadis itu langsung megap-megap mencari udara karena tak bisa bernafas. Setelah meronta-ronta dua menit tanpa berdaya memperoleh oksigen, maka Farah terpaksa bernafas melalui mulutnya, namun hanya dibukanya sedikit. Pak Burhan yang melihat hal itu, kembali muncul senyum iblisnya karena ia tahu bagaimana mengatasi pertahanan gadis yang masih malu dan murni ini. Satu tangannya yang berjari-jari kasar, dengan brutal meremas bukit kembar dada Farah sebelum kemudian ibu jari serta telunjuknya menjepit dan menarik puting susu kanan korbannya.
Perlakuan sadis semacam ini tak pernah diduga sama sekali oleh Farah sehingga iapun tanpa sadar menjerit kesakitan dan membuka mulutnya, “Auw!! S-sakit... auuw... ughh... uhh... emmpfh!!” jeritan Farah hanya bergema beberapa detik karena mulutnya yang terbuka itu langsung disumbat dijejali oleh kemaluan pak Burhan yang terasa beraroma memuakkan.
“Ayo, neng manis. Buka mulutnya dong yang lebar, cobain nih singkong bapak... jangan kaget, neng, ntar makin lama makin gede... iya gitu, siip banget gadis Parahiangan begeur teuing... bapak ajarin jadi juara ngisep, bapak mau masukin lebih dalem lagi ya!” pak Burhan tanpa kasihan mendorong penisnya lebih dalam sambil menatap air mata yang mengalir di kedua pipi Farah yang halus itu.
“Aaah... anget bener nih mulut! Emang pinter si neng, punya bakat alami bisa nyepong kontol... iyah, teruus... kulum, jilat, awas jangan digigit... nih barang mahal, ntar lagi neng rasain dijebol ama lembing... aaah!!” Bagaikan kesurupan, pak Burhan merem melek merasakan kehalusan dan lembutnya bagian dalam mulut dan lidah Farah.
Dengan penuh nafsu pak Burhan kini memaju-mundurkan pinggulnya sehingga rudal dagingnya menggesek langit-langit mulut Farah. Beberapa kali pak Burhan memaksakan penisnya menusuk lebih dalam, namun karena memang terlalu besar dan panjang, maka hanya setengah saja yang dapat masuk dan telah menyentuh pintu gerbang awal tenggorokan Farah, menyebabkannya si gadis terbatuk-batuk dan ingin memuntahkan barang menjijikkan yang tengah merajahi mulutnya. Tapi tekanan tangan pak Burhan di kepalanya terlalu kuat sehingga kemaluan lelaki itu tetap saja bertahta dan berjaya di mulutnya, mengakibatkan rasa ingin muntah yang semakin menyiksa Farah.
Sementara itu Wati telah berhasil merentangkan kedua paha Farah dan kedua pergelangannya yang langsing kini diikat pula di ujung-ujung ranjang, menyebabkan tubuh bugil Farah membentuk huruf X dan tak sanggup lagi untuk melawan atau memberontak sedikitpun. Setelah melaksanakan tugasnya itu, Wati tersenyum dengan penuh arti kepada pak Burhan dan meninggalkan kamar.
Melihat mangsanya kini terikat kaki tangannya ke ujung-ujung ranjang tak mampu melawan, maka pak Burhan merasa sangat puas dan segera melaksanakan langkah berikutnya. Sambil tak henti-hentinya meremas buah dada montok kesenangannya itu, pak Burhan berbisik ke telinga Farah, “Neng Farah pasti belum pernah senam olahraga di ranjang dengan lelaki kan? Nah, sekarang udah waktunya belajar dari bapak, hehehe... Neng Farah kebetulan lagi subur nggak, mau nggak punya anak dari bapak? Pasti cakep lah kaya neng... bapak gali liang kegadisannya ya, hehehe...”
Tentu saja mendengar komentar cabul itu menyebabkan Farah sangat ketakutan, bukan hanya takut karena ia tahu bahwa selain sudah nasibnya sebentar lagi akan diperkosa habis-habisan oleh pak Burhan, namun bagaimana kalau sampai terjadi apa yang dikatakan oleh lelaki itu bahwa ia akan hamil? Farah mengingat-ingat bahwa memang benar dirinya sedang berada di masa subur sehingga kemungkinan ia akan hamil besar sekali.
Sekuat tenaga Farah memberontak dan berhasil melepaskan wajahnya dari cengkeraman tangan pak Burhan dan ia langsung meratap tersedu-sedu, “Tolong, pak Burhan, kasihani saya... saya masih gadis, jangan dihamili, pak... tolong jangan berikan aib kepada saya, lepaskanlah saya... saya tak akan lapor kepada siapapun dan kemanapun... tolong, pak, jangan perkosa saya, jangan hamili saya...”
Senyuman iblis kembali muncul di wajah pak Burhan mendengar ratapan korbannya itu, karena tentu saja dia pun tak mau langsung mendapat beban bayi yang harus ditanggung-jawabkan. Pak Burhan ingin mengambil kegadisan Farah namun sebaiknya jangan dihamili dulu saat ini.
“Hehehe, neng takut hamil ya? Emmh... kalau gitu bapak akan sumbangkan benih bapak yang mahal ini sementara di tempat yang kurang subur, tapi neng harus ikut kemauan bapak ya!”
Farah tak langsung mengerti apa maksud kata-kata dan kalimat terakhir itu, juga sampai saat pak Burhan berubah menelungkup di atas tubuhnya sedemikian rupa sehingga selangkangan pak Burhan dengan penisnya yang gagah tegak dikhitan kembali berada dihadapan wajahnya. Sebaliknya pun wajah pak Burhan kini tepat berada di atas bukit kemaluannya dan apapun usaha Farah mengatupkan selangkangannya, tetap tak berhasil karena pergelangan kakinya terikat erat ke ujung ranjang, hingga nafas hangat pak Burhan kini terasa menghembus di bukit kewanitaannya yang gundul klimis tercukur rapih. Farah meronta-ronta bagaikan orang sekarat ketika dirasakannya jari tangan pak Burhan mulai mengusap-usap bibir luar kelaminnya.
“Ayolah, neng manis... hisap, sepong dan kulum lagi barang antik bapak nih biar lama, coba rangsang sampai keluar pejuhnya, coba minumlah habis semuanya... kalau dah habis diminum kan nggak bisa nyiram dan nanam bibit lagi hari ini, hmm... tapi bapak juga mau coba gimana rasanya air madu neng, pasti manis kan... memeknya aja udah wangi begini, hehehe...” celoteh pak Burhan sambil melekatkan bibirnya yang tebal ke bibir kemaluan Farah.
Kini barulah Farah menyadari apa maunya pak Burhan : alat kejantanannya yang kaku tegak dihadapan wajahnya itu harus dikulum dan dihisapnya juga, dan jika sampai berhasil menyembur habis semua spermanya maka kemungkinan besar tak dapat membuahinya lagi.
Selain itu siapa tahu jika sudah ejakulasi dan dihisap habis di dalam mulutnya, maka pak Burhan akan tak dapat ereksi lagi dan hal itu mungkin akan menyelamatkan selaput kagadisannya. Farah harus pilih dari dua kemungkinan yang buruk, namun daripada diperawani dan sampai hamil, maka lebih baik jika mengulum penis yang menjijikkan dan sangat dibencinya itu.
Disertai dengan linangan air mata, Farah membuka bibir mungilnya dan mulai mengulum penis besar berurat-urat yang memancarkan aroma tak menyenangkan, lalu dijilat dan dihisap kepala jamurnya. Tanpa sadar apa yang dilakukan, Farah kini menjilati lubang kencing pak Burhan!
“Hmmh... sshh... ahhh... iya, ohhh... pinter! Teruus... bapak juga mulai cicipi air madu di celah memek yang rapet sempit milik neng, oooh... ntar dibelah ya, neng!” ujar pak Burhan sambil menjulurkan lidahnya menyelusup di celah vagina Farah yang mulai licin pula.
Sangat terkejut dan malu Farah merasakan hembusan nafas panas pak Burhan di permukaan kulit bukit kemaluannya, selanjutnya kumis baplang pak Burhan mulai menggelitik bibir luar memeknya sehingga ia kembali meronta-ronta karena kegelian. Rasa geli itu bahkan terkadang membuat Farah lupa akan ‘tugas’ yang harus dilakukannya. Apalagi ketika dirasakannya lidah nakal pak Burhan mulai menyelinap masuk di celah kegadisannya, dan menyapu-nyapu dinding kiri-kanan, mendorong serta membelah ke atas mencari tujuan utamanya, yaitu daging kecil yang tersembunyi diantara lipatan labia-nya.
Setelah ketemu yang dicarinya itu, maka pak Burhan dengan sengaja menjepit kelentit mungil itu diantara barisan gigi-giginya, kemudian digerakkannya rahangnya ke kiri dan ke kanan. Akibat gerakan rahang pak Burhan ini ternyata sangat luar biasa, Farah merasakan kelentitnya amat ngilu tapi juga geli dan sedikit sakit, sukarlah diuraikan dalam kalimat, sehingga ia hanya bisa menggeliat-geliat.
“Auuh... iiih... j-jangan, aiih... emmpfh... geli, pak, udah... hentikan... auw, emmpfh...” Farah menjerit-jerit dan bagaikan sedang histeris sebelum kemudian mulai mengulum kemaluan pak Burhan, seolah ingin ‘membalas’ perbuatan pemerkosanya.
Sementara itu tentu saja pak Burhan juga meningkatkan usahanya untuk membuat gadis muda yang masih murni dan alim ini menjadi mangsanya yang selalu haus akan seks. Selain kumisnya menggelitik kulit halus Farah, juga digesek-geseknya ke permukaan klitoris bagaikan sapu ijuk yang menusuk-nusuk. Selain itu jari-jari tangannya juga membuka paksa belahan bibir kemaluan Farah yang kemerah-kemerahan itu.
Kini terlihatlah bagian dalam kemaluan gadis itu yang masih tertutup selaput kegadisan tipis, dan juga lubang kencingnya yang kecil amat menggiurkan mata lelaki. Pak Burhan langsung menjadikannya sasaran, lidahnya mengusap dan mendorong-dorong selaput gadis pelindung kemurnian Farah hingga menyebabkan rasa ngilu nyeri agak sakit, sebelum ujung lidah itu menggelitik-gelitik lubang kencing yang membuat pinggul Farah makin bergeser-geser memberontak kegelian.
Tak hanya bergeser ke kiri dan ke kanan, namun Farah tanpa disadari mulai mengangkat pinggulnya sejauh mungkin namun tidak bisa karena kakinya terikat erat, itu seolah-olah menunjukkan kalau Farah sudah ketagihan!
Pak Burhan mengerti semua tanda ini : gadis alim shalihah ini mulai kehilangan rasa harga dirinya, ingin merasakan lebih banyak kenikmatan yang sedang menyiksanya. Selain itu Farah semakin mantap mengulum menyepong menjilat-jilat ujung saluran kencing pak Burhan yang tadi sangat membuatnya jijik, namun kini tak diperdulikan lagi aromanya yang khas kelaki-lakian.
Rentenir kelas kakap ini pun tak luput dari pengaruh mulut dan lidah serta gigi Farah, alat kemaluannya semakin tegang mengeras dan gejolak lahar di dalam biji pelirnya semakin mendekati titik mendidih untuk meluap. Pak Burhan menekan pinggulnya ke wajah Farah menyebabkan gadis malang ini semakin sukar untuk bernaas, masuk masuk masuk semakin dalam dan akhirnya dengan suara geraman bagai hewan terluka, pak Burhan menyemburkan spermanya.
“Ooooh… aaaah... iyaa, hisaap… hisaap… ayo terus, neng geulis manis, minum semua air mukjizat bapak… itu bagus untuk obat awet muda, aaah!!” teriaknya.
Surrrr… surrrr… jrooot… jrooot… surrrr… air mani pak Burhan dengan aroma khas lelaki menyembur memenuhi rongga mulut Farah, seolah-olah tak akan berhenti hingga menyebabkan Farah hampir tersedak dan terbatuk-batuk. Namun mengingat dan mengharapkan habisnya lahar panas dari biji pelir pak Burhan akan membuatnya tak mampu lagi ereksi untuk mengoyak selaput tipis kegadisannya saat itu, apalagi sampai menghamilinya, maka Farah berusaha terus menjilat mengulum dan menghisap kepala penis pak Burhan, meskipun lambungnya telah berontak dan rasa mualnya semakin menjadi-jadi menyebabkannya hampir muntah.
Untunglah rasa mualnya terganti dan bahkan terkalahkan oleh rasa gatal, geli dan nikmat di selangkangannya, karena pak Burhan disaat itu menggigit klitorisnya dengan sadis dan sekaligus tanpa diduga menusuk anusnya dengan jari tengahnya yang lebar dan kuku kasar tak terawat agak tajam.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh Farah dan merupakan pemantik melewati batas daya tahannya sebagai gadis masih murni alim dan patuh pada agama. Ledakan orgasme tak dapat ditahan menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaikan terkena aliran listrik, tubuh Farah yang demikian langsing semampai kini mengejang-ngejang melawan ikatan tangan dan kakinya. Jari-jari tangannya menutup membuat kepalan tinju, membuka, menutup–demikian pula jari-jari kakinya. Kepala Farah yang masih setengah tertutup jilbab ikut menengadah, menggeleng ke kiri dan ke kanan, lalu kembali menengadah. Sementara matanya seolah terbalik sehingga hanya terlihat bagian putihnya saja. Cuping hidungnya nan bangir mancung kembang kempis menyertai aliran deras air mata di pipinya sementara bibirnya terbuka lebar.
“Aaah... aduh, aduduh... perihh... keluarin! Maluu... haram, pak! Aihh... oooh... t-tolong, auw... auw... auw... ampun!!” jeritan dan lolongan Farah menggema menimbulkan iba bagi yang mendengar, namun tidak menggerakkan rasa belas kasihan untuk pak Burhan yang sudah kemasukan setan.
Penuh kepuasan ia membaringkan dirinya di samping kanan tubuh Farah yang kejang-kejang terikat, mulutnya kembali menggigit puting buah dada kiri sementara tangan kirinya meremas dan mencubit buah dada kanan Farah. Tanpa memperdulikan Farah yang telah kehabisan tenaga serta lemas dilanda orgasme, tangan kanan pak Burhan tetap menjarah kemaluan mangsanya, dengan jari telunjuk dan ibu jari meraba, mengusap dan menjepit mencubit-cubit kelentit Farah yang masih agak menonjol diantara bibir kemaluannya. Dengan demikian pak Burhan seolah-olah ingin merangsang terus dan mempertahankan agar Farah tiada henti dilanda orgasme yang menyebabkan ia lupa segalanya .
Tujuan maksiat ini memang berhasil, Farah jadi meraung-raung, menjerit, meronta, dan menggeliat-geliat bagaikan kesurupan. “Udah, pak... oooh... udah, Farah nyerah... ampun... Farah pipis lagi, auw... auw... auw... ya Ilahi, tolong... aah, aiihh, oohh...” teriakan Farah semakin melemah dan akhirnya hampir tak terdengar karena gadis alim ini mencapai batas kemampuannya dalam mengalami orgasme dan sudah setengah pingsan.
Pak Burhan tersenyum bagaikan iblis karena telah mencapai kemenangan pertama–mangsanya telah kehabisan tenaga dan tergeletak terikat kaki tangannya dalam keadaan bugil telanjang bulat. Kini telah tiba saatnya untuk merenggut satu-satunya milik Farah yang selama ini dipertahankan dengan sebaik-sebaiknya oleh gadis itu dengan maksud untuk dipersembahkan di malam syahdu kepada suaminya yang sah.
Namun kini yang akan merenggut kegadisannya bukanlah sang suami, melainkan seorang lelaki jauh lebih tua yang ganas dan haus seks, seorang lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya. Tanpa upacara agama yang diharapkannya untuk meresmikan akad nikah, tak ada ijab kabul yang diucapkan dihadapan penghulu agama. Pak Burhan mana peduli, yang penting nafsu birahinya akan terpuaskan dengan menembus selaput dara Farah. Apakah sang gadis rela menyerahkan kegadisannya itu bukan urusan lagi, semakin tampak keputusasaan dan rasa sakit tercermin di wajah begitu cantik itu maka akan semakin puaslah pak Burhan.
Penisnya yang besar hitam penuh dengan pembuluh darah telah menyemburkan mesiunya beberapa saat lalu ke dalam mulut Farah. Namun senjata kebanggaannya itu masih tegak kukuh berjaya bagaikan kayu pemukul kasti dan kembali siap maju untuk menghantam benteng pertahanan yang tersembunyi di tengah liang hangat yang mulai licin dengan air mazi lendir yang telah mengalir deras karena orgasme yang dipaksakan beberapa menit lalu…
Pak Burhan mengambil bantal guling yang agak keras diranjang itu lalu diletakkannya di bawah pantat Farah, menyebabkan bukit kemaluannya menonjol ke atas, terutama liang kewanitaan yang tampak berkilat basah kini muncul merekah. Dengan jari-jari tangan kirinya, pak Burhan kini menguakkan bibir kemaluan Farah, dan dengan tangan kanannya diarahkan kepala penisnya yang berbentuk topi baja seorang serdadu untuk meretas dan membelah memek idaman itu.
Keringat telah membasahi tubuh keduanya yang telah telanjang bulat, hanya perbedaannya adalah keringat Farah tetap tarasa harum di hidung pak Burhan, sebaliknya keringat pak Burhan yang menetes-netes dari dahinya ke perut Farah yang datar langsing itu terasa menyengat asam tak menyenangkan di penciuman gadis yang tengah dijarah. Tubuh Farah telah basah mengkilat dengan keringat yang keluar akibat semua daya upaya pergulatannya melawan orgasmenya, sedangkan keringat pak Burhan diakibatkan oleh usahanya merangsang dan menaklukkan gadis idamannya. Kini arus keringat yang membasahi tubuh Farah juga diakibatkan oleh rasa takut yang menyelubungi nuraninya karena sadar akan kehilangan milik satu-satunya yang paling berharga. Sebaliknya pak Burhan makin mengucur keringatnya karena berusaha menerobos lubang kenikmatan Farah yang masih sangat sempit dan beberapa kali penisnya terpeleset ke kiri dan ke kanan.
Namun dia tak mudah menyerah, dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya, pak Burhan membuka celahan bibir kemaluan Farah. Tampaklah isi di dalamnya yang terkuak berwarna merah muda ibarat pepaya mengkal yang dibelah, di atasnya menonjol kelentit yang seolah malu-malu mengintip di antara lipatan bibir kemaluan. Mata pak Burhan yang telah terlatih dalam menilai liang kelamin wanita semakin mengarah ke bagian dalam vagina korbannya. Kira-kira sedalam satu ruas jari tengah, terlihatlah selaput dara Farah yang berbentuk bulan sabit tipis merayang penuh pembuluh darah sehalus rambut. Pak Burhan sangat puas melihat memang benar Farah masih utuh kegadisannya.
Pak Burhan hanyut dalam fantasi pikirannya bagaimana ia akan merasakan nikmatnya jepitan selaput perawan gadis alim ini. Namun sebelumnya ia akan berusaha kembali menghanyutkan Farah ke dalam arus gelora nafsu birahi, yang mana akan dirangsangnya lubang kencing Farah yang sangat mungil hampir tak terlihat di atas selaput daranya itu. Tak beda dengan lubang air seninya sendiri yang tadi dijilat dan dan disapu-sapu oleh lidah Farah, maka kini tiba gilirannya untuk melakukan hal yang sama. Pak Burhan menekan sedikit perut Farah di atas tulang kemaluannya dan ini menyebabkan si kandung kemih agak menyeruak keluar menampilkan lubang yang amat mungil itu dan langsung disambut oleh lidah pak Burhan yang menggelitik tiada hentinya.
Pinggul Farah yang begitu bahenol bergoyang ke kiri-kanan menahan rasa geli diperlakukan oleh lelaki yang sangat berpengalaman itu, ditahannya semua siksaan yang sangat memalukan itu dengan tabah, hanya air matanya semakin membasahi pipinya dan mulutnya semakin terbuka.
“Emmpfh... aaihh... oooh... ssssh... aaaah... j-jangan dijilat lagi... udah, pak, gelii... oooh... hiyahh... g-geli... ampuun!!” Farah menolehkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, terkadang digigitnya bibirnya sendiri untuk menahan geli.
“Uuh, basah banget... hangat, tapi sempit amat nih lobang... tahan sedikit ya, neng... memang sakit, tapi pasti nanti jadi enak bagaikan masuk taman firdaus... hmmh... aah...” geram pak Burhan penuh nafsu, sambil berusaha merayu dan menghibur bidadari mangsanya yang akan segera diperawaninya.
Kini diarahkannya kepala penisnya ke tengah lipatan bibir kemaluan Farah, dan setelah beberapa kali gagal meleset, kini terjepitlah tombak pemecah selaput dara itu di celah surgawi tujuannya, dan dengan penuh rasa kepuasan pak Burhan mulai mendorong maju, menekan dan membelah…
“A-aduuh… auuww… a-ampuun, pak, h-hentikan! S-sakiit… udah… j-jangan dimasukin, pak… ampunn… aauuw!!” jeritan Farah menggema menyayat keheningan kamar, menimbulkan rasa iba bagi yang mendengar.
Namun hal itu malah semakin memicu nafsu birahi pak Burhan. Tanpa rasa belas kasihan, sang rentenier kakap ini semakin memajukan pinggulnya, maju, menekan, mendorong, membelah sehingga akhirnya jebollah pertahanan selaput tipis di dalam liang vagina Farah, si gadis alim shalihah.
Rasa ngilu dan sakit sedemikian mendera bagian kemaluannya bahkan terasa menusuk sehingga ke ulu hatinya, menyebabkan Farah tak mampu lagi mengeluarkan suara. Yang terlihat hanyalah mulut mungil dengan bibir basah setengah terbuka yang kembali diserbu diciumi sangat rakus oleh bibir tebal pak Burhan. Lidahnya yang sangat memuakkan itu kembali memasuki rongga mulut Farah, menyebabkan si gadis yang sedang disiksa ini semakin sesak nafasnya. Apalagi air liur pak Burhan penuh bau rokok keretek bertetesan mencampuri ludah Farah sehingga ciuman-ciuman pak Burhan terdengar berkecipak di tengah-tengah dengusan nafasnya.
Laju, masuk, menusuk, mundur sejenak, kemudian masuk lebih dalam, bagaikan pisau menyayat sekaligus lebarnya kemaluan pak Burhan bagaikan pentungan satpam memenuhi dinding vagina Farah. Pentungan daging ini menerobos tak henti-hentinya dan setelah bermenit-menit yang dirasakan bagaikan berabad-abad oleh Farah, maka terhentilah hantaman itu karena telah terbentur dan terhalang oleh mulut rahim.
“Oooh… nikmaaaaatnya neng houri! Gimana, mulai biasa kan dengan lumpang sakti bapak? Kasihan... masih perih ya diperawani? Tapi sebentar lagi neng pasti merengek minta tambah... ayo goyang dong pantatnya, kan mojang parahiangan paling jago ngebor dengan pantat bahenolnya... goyang yang mantep, neng... iya, gituu... terus, neng, pinter!!” pak Burhan tak peduli bahwa Farah berusaha menggeser pinggulnya ke kanan dan ke kiri karena merasa ngilu kesakitan.
Pak Burhan kini mulai lagi dengan meremas-remas buah dada Farah dengan penuh kegemasan, puting yang selalu mencuat itu kembali dijadikannya sasaran pilinan, pjitan, cubitan dan gigitan sadis.
“Hhhm... putihnya nih susu. Neng punya darah amoy kali ya, geli nggak neng dijarah teteknya? Belajar deh neng dari sekarang, siapa tahu neng ntar jadi bini bapak. Bangun pagi bapak paling seneng minum kopi susu asli, hhmm... nih puting, kenyal digewel-gewel...“ Tak habis-habisnya pak Burhan memuji kedua bukit daging yang kini telah kemerahan penuh cupangan dan gigitan.
Dengan keahliannya pak Burhan terus menerus memancing keluar hormon kewanitaan Farah yang biar bagaimanapun adalah wanita normal, tubuhnya sedang diperkosa habis-habisan, semuanya dirasakan bagaikan siksaan di neraka. Namun para iblis di neraka tak henti-hentinya menyebarkan jaringan dan jeratan rasa lain di tubuh Farah. Sakit, ngilu, perih tak hentinya, namun dari sudut dan dasar paling dalam di benaknya muncullah rasa lain; rasa panas, geli dan nikmat. Semua bercampur baur, bergantian menerpa ujung-ujung ribuan syaraf tubuhnya. Semua panca indera Farah yang semula hanya mengenal satu : kemuakan dan kebencian terhadap si pemerkosa, perlahan-lahan di transformasi menjadi rasa keinginan untuk mempertahankan apa yang sedang dialami.
Telinga pak Burhan yang sudah sedemikian ahli menangkap perubahan dari jeritan dan rintihan sakit menjadi desah dan dengusan nafas memburu seorang wanita yang dipengaruhi rasa birahi!
“Mulai enak ya, neng? Ngaku lah, nggak ada salahnya jujur ama bapak. Ntar lagi neng akan masuk firdaus, bapak cepetin nih genjotannya. Bilang ya kalo udah mau nambah, hehehe…” ujar pak Burhan yang melihat tanda-tanda gadis yang telah diperawaninya itu mulai hancur pertahanannya yang terakhir. Oleh karena itu pak Burhan makin meningkatkan tempo genjotan dan tusukannya.
“Hmmpfh... sssh... aaah... pak, ooohh... u-udah, pak... saya nggak kuat lagi, oooh...” Farah mulai hanyut terbawa arus godaan dan bujukan rasa hangat gatal di seluruh tubuhnya, terutama di bagian kemaluannya yang semakin lama semakin terasa panas akibat tergesek-gesek dengan batu lumpang daging.
“Tahan dikit ya, neng, bapak mau nyumbang pejuh nih... siapa tahu ada buahnya, aaah... oooh... sempit amat... duh, angetnya nih memek mojang parahiangan tulen... iya gitu, goyang terus, terus... pijit-pijit batang pusaka bapak, oooh... bapak keluar nih...”
Pak Burhan untuk kedua kalinya menyemburkan lahar panasnya dan kali ini menyiram mulut rahim korbannya, kemaluannya berdenyut-denyut kencang membuat Farah jadi menjerit histeris ketakutan.
“Aaih, sssh... keluarin, pak, jangan buang di dalam... ntar hamil, aauoh... shhh... ngilu, pak, udah dong... aauw, a-ampun!!” Kali ini Farah bagaikan disergap oleh gelombang tsunami menderu-deru di otaknya, hanya jutaan bintang berkunang-kunang. Kepalanya terasa terputar-putar dan akhirnya semua mulai kabur, berwarna abu-abu dihadapan matanya dan hitam gelap pada saat Farah tak tahu apa-apa lagi karena jatuh pingsan…
Harapan Farah hanya sia-sia saja, pak Burhan ternyata sama sekali tidak berkurang daya kemampuannya setelah ejakulasi pertama di mulutnya tadi. Rentenir cabul ini tetap sanggup mempertahankan ereksi-nya, sehingga dapat menembus selaput kegadisan Farah. Bahkan setelah sempat menyemburkan spermanya ke dalam rahim Farah maka ia cukup beristirahat sebentar. Pada waktu mana Wati memberikan teh jahe dicampur ramuan-ramuan desa yang rupanya dalam waktu singkat dapat memulihkan daya kemampuannya memasuki ronde berikutnya.
Kali ini dengan penuh kemesraan pak Burhan memeluk tubuh Farah yang masih telanjang bulat dan setengah pingsan itu dalam posisi menyamping. Dalam posisi mana pak Burhan memeluk Farah dari arah belakang, nafasnya yang hangat menggelitik kuduk dan telinga Farah. Tangan pak Burhan yang besar dan kasar mengusap pundak, kedua buah dada nan montok dan dipilin-pilinnya puting yang kembali mengeras dan mencuat indah disertai lenguhan Farah secara tak sadar.
Tangan itu kemudian turun mencari celah kemaluan Farah yang masih basah licin karena campuran lendir vagina, sperma dan juga darah keperawanannya. Tak dapat menahan nafsunya, maka pak Burhan beberapa menit kemudian membalikkan tubuh Farah menjadi terlentang dan diperkosanya kembali. ‘Luka’ dinding memek Farah akibat proses penembusan selaput daranya kembali tergesek-gesek dan dirasakan sangat nyeri ngilu. Namun Farah sudah terlalu lemah untuk protes apalagi melawan, ia hanya bisa menangis terisak tersedu-sedu dan pasrah ditaklukkan si rentenir tua.
Pak Burhan menyetubuhinya tanpa rasa kasihan, sambil membisikkan sesuatu ke telinga Farah, menyebabkannya menggeleng kepalanya dan tangisannya semakin menimbulkan iba.
Namun sejak itu pak Burhan tak pernah lagi mempersoalkan hutang keluarga Ustadz Arief Ubaidillah, dan buku-buku karangan Farah dapat dirilis oleh percetakan lainnya…
Beberapa bulan kemudian dirayakan sebuah pesta pernikahan besar di sebuah balai desa di luar kota Bandung. Siapakah pasangan mempelai itu–banyak pengunjung berbisik-bisik mengatakan bahwa pasangan pengantin yang duduk di pelaminan itu amat tidak serasi, baik usia maupun penampilannya.